Category Archives: aqidah

Mentaati Penguasa Muslim dan Kufur Terhadap Thoghut

Pada hari ini banyak sekali ujian dan cobaan menerpa umat Islam di seluruh dunia. Ujian itu berupa penyakit syubhat dan syahwat. Salah satu masalah yang seringkali seolah tidak tuntas diperdebatkan adalah masalah iman dan kufur, serta syirik dan tauhid. Read the rest of this entry

KEWAJIBAN YANG HILANG

Jihad fi Sabilillah merupakan kewajiban agung yang dicintai oleh hati setiap mukmin, walaupun banyak kesulitannya. Karena jihad akan membimbingnya di dunia dan akhirat. Jihad akan mengeluarkannya dari lembah kekerdilan ke puncak kejayaan, dari kehinaan kepada kemuliaan, dan dari kekalahan kepada kemenangan dengan izin Allah. ..lanjut

VIRUS PANCASILA

“Pancasila sebagai filsafat negara itu bagi kami adalah kabur dan tak bisa berkata apa-apa kepada jiwa Ummat Islam yang sudah mempunyai dan sudah memiliki satu ideologi yang tegas, terang, dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntutan hidup dan sumber kekuatan lahir dan bathin, yakni Islam. …lanjut

10 Takfir Pelaku Syirik Akbar

10 Takfir Pelaku Syirik Akbar

Takfir Pelaku Syirik Akbar

Ikhwani fillah… materi yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah tentang takfir man fa’alasysyirka (pengkafiran pelaku syirik). Ketahuilah wahai saudaraku, saat hancurnya tatanan Tauhid di Saudi Arabia dan bercokolnya para thaghut di sana, maka masalah-masalah Tauhid ikut tersisihkan bersama para ‘ulamanya. ….lanjut

murji’ah ?

Murji-ah itu ada tiga macam:
Golongan pertama adalah murji-ah di dalam masalah iman dan yang menolak taqdir, yaitu madzhab murji-ah yang dianut oleh Qodariyah dan Mu’tazilah. ……….lanjut

MEMBONGKAR KEDOK PANCASILA DAN UUD 45

Pembahasan ini adalah untuk menunjukkan kepada kita tentang kemusyrikan yang terang dan kekafiran yang nyata dari Pancasila dan UUD 1945. Sehingga tidak ada lagi kesamaran bagi kita untuk mengkafirkan siapa saja yang menerima Pancasila dan UUD 1945, membanggakannya, serta mengamalkannya baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Di dalam Bab XV pasal 36 A : ”Lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”.
Pancasila adalah dasar negara, sehingga para Thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara RI, serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, pengamalannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia. Setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. [Lihat PPKn untuk SD dan yang lainnya, bahasan Ekaprasetya Pancakarsa].
Jadi dasar negara RI, pandangan hidupnya, serta sumber kejiwaannya

bukan لا إله إلا الله tapi falsafah syirik Pancasila Thaghutiyyah Syaitaniyyah yang berasal dari ajaran syaitan manusia, bukan dari wahyu samawi ilahi
اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

”Itulah Al-Kitab (Al-Qur’an), tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(Qs. Al-Baqarah : 2)

Tapi mereka mengatakan : ”Ini Pancasila adalah pedoman hidup bagi bangsa dan pemerintah Indonesia”.

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

”Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia…”. (Qs. Al-An’am : 153)
Tapi mereka menyatakan : ”Inilah Pancasila yang sakti, hiasilah hidupmu dengan dengan moral Pancasila”.
Oleh karena itu, dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang yang Pancasilais (baca : musyrik), para Thaghut (Pemerintah) menjadikan PMP/PPKn sebagai pelajaran wajib di semua lembaga pendidikan mereka.
Sekarang mari kita kupas beberapa butir Pancasila…
Dalam sila I butir II : ”Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan”.
Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan tidak ada hukum yang melarangnya. Seandainya orang muslim murtad dan masuk Nasrani, Hindu, atau Budha, maka itu adalah kebebasannya dan tidak akan ada hukuman baginya. Sehingga ini membuka pintu lebar-lebar bagi kemurtadan, sedangkan dalam ajaran Tauhid Rasulullah bersabda : ”Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Namun kebebasan ini bukan berarti orang muslim bebas melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam, tapi ini dibatasi oleh Pancasila, sebagaimana yang tertera dalam butir I : ”Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sehingga bila ada orang murtad dari Islam, terus ada orang yang menegakkan terhadapnya hukum اللّهsubhanahu wata’ala yaitu membunuhnya, maka orang yang membunuh ini pasti dijerat hukum Thaghut.
Dalam sila II butir I : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.
Yaitu bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status itu semua dengan sebab dien (agama), sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

”Katakanlah : Tidak sama orang buruk dengan orang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menakjubkan kamu”.(Qs. Al-Maaidah : 100)
Dia Ta’ala juga berfirman :

”Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”.(Qs. Al-Hasyr : 20)
اللّهsubhanahu wata’ala juga berfirman :

”Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”.(Qs. As-Sajadah : 18)

Sedangkan kaum musyrikin dan Thaghut Pancasila mengatakan : ”Mereka sama”.

اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

”Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah kitab (yang diturunkan اللّه) yang kamu membacanya, bahwa didalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu”.(Qs. Al-Qalam : 35-38)
Sedangkan budak Pancasila, mereka menyamakan antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir. Dan saat ditanya, Apakah kalian mempunyai buku yang kalian pelajari tentang itu ? . Mereka menjawab : ”Ya, kami punya. Yaitu PMP/PPKn dan buku lainnya yang dikatakan di dalamnya : ”Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia”.

Apakah ini Tauhid atau Kekafiran ???
Lalu dinyatakan dalam butir II : ”Saling mencintai sesama manusia”.
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, para Demokrat, para Quburriyyun, para Thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan اللّه ta’ala mengatakan :

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada اللّه dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang اللّه dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka”.(Qs. Al Mujadilah : 22)

Kata Pancasila : “Harus saling mencintai meskipun dengan orang-orang non-muslim”. Namun kata اللّه , orang yang saling mencintai dengan mereka bukanlah orang Islam.

اللّه mengajarkan Tauhid,Tapi Pancasila mengajarkan kekafiran
اللّه subhanahu wata’ala juga berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman setia yang kalian menjalin kasih sayang dengan mereka”.(Qs. Al-Mumtahanah : 1)
Dia subhanahu wata’ala berfirman tentang siapa musuh kita itu :

“sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”.(Qs. An-Nisa’ : 101)

Renungi ayat-ayat itu dan amati butir Pancasila di atas.

Yang satu ke timur dan yang satu lagi ke barat,Sungguh sangat jauh antara timur dan barat
اللّه subhanahu wata’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang diserukan para Rasul :

“serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada اللّه saja”.(Qs. Al-Mumtahanah : 4)

Tapi dalam Thaghut Pancasila : “Tidak ada permusuhan dan kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa”.

Apakah ini Tauhid atau Syirik ???
Ya, Tauhid… tapi bukan Tauhidullah, namun Tauhid (Penyatuan) kaum musyrikin atau Tauhiduth Thawaaghit.
Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah mengabarkan bahwa :“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena اللّه dan benci karena اللّه”.
Namun kalau kamu iman kepada Pancasila, maka cintailah orang karena dasar ini dan bencilah dia karenanya. Kalau demikian berarti adalah orang beriman, tapi bukan kepada اللّه, namun beriman kepada Thaghut Pancasila. Inilah yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang Esa itu bukanlah اللّه dalam agama Pancasila ini, tapi itulah garuda Pancasila.

Enyahlah Tuhan yang seperti itu…Dan enyahlah para pemujanya….
Dalam sila III butir I : “Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan”.
Inilah yang dinamakan dien (agama) Nasionalisme yang merupakan ajaran syirik. Dalam butir di atas, kepentingan Nasional harus lebih di dahulukan siatas kepentingan golongan (baca : agama). ApabilaTauhid atau ajaran Islam bertentangan dengan kepentingan syirik atau kufur negara, maka Tauhid harus mengalah. Sedangkan اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului اللّه dan Rasul-Nya”.(Qs. Al-Hujurat : 1)
Oleh sebab itu, karena Nasionalisme adalah segalanya maka hukum-hukum yang dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh orang-orang kafir asli dan kafir murtad, karena hukum اللّه sangat-sangat menghancurkan tatanan Nasionalisme, ini kata Musyrikun Pancasila.
Sebenarnya kalau dijabarkan setiap butir dari Pancasila itu dan ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran yang banyak. Namun disini kita mengisyaratkan sebagiannya saja.
Kekafiran, kemusyrikan dan kezindikan Pancasila adalah banyak sekali. Sekiranya uraian di atas cukuplah sebagai hujjah bagi pembangkang dan sebagai cahaya bagi yang mengharapkan hidayah.
Setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin orang muslim masih mau melagukan : “Garuda Pancasila, akulah pendukungmu…”.
Tidak ada yang melantunkannya kecuali orang kafir mulhid atau orang jahil yang sesat yang tidak tahu hakikat Pancasila.

Sedangkan di dalam UUD 1945 Bab II pasal 3 ayat (1) : ”MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Sudah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum / aturan / undang-undang adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala. Dan bila itu dipalingkan kepada selain اللّه maka itu adalah syirik akbar. اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

”Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu bagi-Nya dalam menetapkan hukum”.(Qs. Al-Kahfi : 26)
اللّه subhanahu wata’ala berfirman :

“Hak hukum (putusan) hanyalah milik اللّه”. (Qs. Yusuf : 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus اللّه subhanahu wata’ala, ini artinya MPR adalah arbab (Tuhan-Tuhan) selain اللّه, dan orang-orang yang duduk sebagai anggota MPR adalah orang-orang yang mengaku sebagai Rabb (Tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka ibadahi. Sehingga ucapan setiap anggota MPR : ”Saya adalah anggota MPR”, artinya adalah ”Saya adalah Tuhan selain اللّه”.
UUD 1945 Bab VII pasal 20 ayat (1) : ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Padahal dalam Tauhid, yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang / hukum / aturan tak lain hanyalah اللّه subhanahu wata’ala.
Dalam pasal 21 ayat (1) : ”Anggota DPR berhak memajukan usul Rancangan Undang-Undang”.
UUD 1945 Bab III pasal 5 ayat (1) : ”Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahkan kekafiran itu tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum kepada para Thaghut itu, tapi itu semua diikat dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat tapi harus sesuai UUD 1945, sebagaimana dalam Bab I pasal 1 ayat (2) : ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Begitu juga Presiden, sebagaimana dalam Bab III pasal 4 ayuat (1) UUD 1945 : ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Bukan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, tapi menurut Undang-Undang Dasar.

Apakah ini islam ataukah kekafiran ???
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan, maka putusan final dikembalikan kepada Mahkamah Thaghut yang mereka namakan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Bab IX pasal 24C ayat (1) : ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
Padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan kepada اللّه dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada اللّه (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar‑benar beriman kepada اللّه dan hari kemudian”.(Qs. An‑Nisa’ : 59)
Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : ”(firman اللّه) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum dalam kasus persengketaannya kepada Al-Kitab dan As-Sunnah serta tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman kepada اللّه dan hari akhir”. [Tafsir Al-Qur’an Al-’Adhim : II / 346].
Ini adalah tempat untuk mencari keadilan dalam Islam, tapi dalam ajaran Thaghut RI, keadilan ada pada hukum yang mereka buat sendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran, kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang murtad masuk ke agama lain adalah hak kemerdekaannya dan tidak ada sanksi hukum atasnya. Padahal dalam ajaran اللّه subhanahu wata’ala, orang murtad punya dua pilihan, kembali ke Islam atau dihukum mati, sebagaimana sabda Rasulullah :

“Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang meminta-minta ke kuburan, membuat sesajen, tumbal, mengkultuskan seseorang, dan perbuatan syirik lainnya, dia mendapat jaminan UUD, sebagaimana dalam Bab XI pasal 29 ayat (2) : ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap meskipun kekafiran adalah hak yang dilindungi Negara dengan dalih HAM, sebagaimana dalam Bab XA pasal 28E ayat (2) : ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Budaya syirik dan berhalanya mendapat jaminan penghormatan dengan landasan hukum Thaghut, sebagaimana dalam Bab yang sama pasal 28 I ayat (3) : ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
UUD 1945 juga menyamakan antara orang muslim dengan orang kafir, sebagaimana didalam Bab X pasal 27 ayat (1) : ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Padahal اللّه subhanahu wata’ala telah membedakan antara orang kafir dengan orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
اللّه Ta’ala berfirman :

”Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”.(Qs. Al-Hasyr : 20)
اللّه subhanahu wata’ala berfirman seraya mengingkari kepada orang yang menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka :

”Maka apakah Kami menjadikan orang-orang islam (sama) seperti orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”.(Qs. Al-Qalam : 35 – 36)
Dia subhanahu wata’ala berfirman :

”Maka apakah orang yang mukmin (sama) seperti orang yang fasik? (tentu) tidaklah sama”.(Qs. As-Sajadah : 18)
اللّه subanahu wata’ala menginginkan adanya garis pemisah yang syar’i antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya dalam hukum-hukum dunia dan akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan budak Undang-Undang negeri ini ingin menyamakan antara mereka.

Siapakah yang lebih baik ???

Tentulah aturan اللّه Yang Maha Esa yang lebih baik

Ulama’ Rabbani

Kaedah-Kaedah Umum Mengenali Sosok Ulama Panutan ….lanjut

dowabit takfir (3)

Faidah

Kapan Keadilan Dikembalikan bagi Pelaku Dosayang Bertaubat

Telah lalu pembicaraan tentang taubat dan penjelasan syarat-syarat dalam penjelasan ilmu yang fardlu ‘ain di pasal ke dua dari bab ke dua kitab ini. Taubat itu ada dua macam: Bathiniyyah dan Hukmiyyah. …….lanjut

dowabit takfir (2)

‘Awaaridlul Ahliyyah

Yang dimaksud adalah Ahliyyatul Adaa, karena sesungguhnya ahliyyah itu ~menurut ahli ushul~ ada dua macam:

Ahliyyatul Adaa artinya kelayakan seseorang untuk bisa diangggap ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya secara syar’i. Sedangkan berakal, baligh dan ikhtiyar (tidak dipaksa) termasuk syarat-syarat sah ahliyyah ini.

Dan Ahliyyatul Wujuub artinya adalah kelayakan seseorang untuk memiliki hak dan memikul kewajiban, sedangkan ahliyyah ini dasarnya adalah hidup sehinggga ia sah bagi orang besar dan kecil termasuk janin. Serta sah bagi orang yang berakal dan tidak berakal.

Sedangkan ‘Awaaridlul Ahliyyah adalah berkaitan dengan ahliyyatul adaa yaitu hal-hal yang muncul merintangi mukallaf sehingga menjadikan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannnya tidak dianggap secara syar’i sehingga ia tidak dihukumi dengannya dan tidak terbangun diatasnya pengaruh-pengaruh konsekuensinya dalam apa yang berkaitan dengan hak Allah Ta’ala. Tidak hak-hak manusia.

Sedangkan ‘Awaridlul Ahliyyah itu ada dua macam:

Pertama: ‘Awaridlul Samawiyyah yaitu yang berasal dari ketentuan Allah Ta’ala yang si hamba tidak memiliki peranan dalam mengusahakannya seperti berstatus anak kecil, gila, idiot, tidur dan lupa. Bila orang ynag memiliki keadaan tersebut melakukan tindak pidana, maka tidak ada dosa atasnya dan ia tidak dikenakan sesuatupun dari hukuman karena terangkat seruan taklif darinya, akan tetapi ia diminta bertanggung jawab atas hak-hak manusia seperti nilai barang-barang yang dirusak, diyat dan yang lainya, karena ia tergolong khathab wadl’i. Dan ‘awaridlul samawiyyah ini lawannya adalah syarat-syarat, seperti sighar (kecil) lawannya adalah baligh, gila dan idiot lawannya adalah berakal, sehingga diantara syarat-syarat takfier mu’ayyyan adalah keberadaan orang baligh lagi berakal. Sedang sah tidaknya kemurtadaan anak kecil yang mumayyiz ada perselisihan. Dan orang yang menganggapnya sah seperti Hanbali mengatakan ia tidak diberi sanksi sampai ia baligh dan disuruh taubat. (lihat Al Mughniy Ma’asy Sharhil Kabir 10/91-92)

Ke-dua: ‘Awaaridlul Muktasabah yaitu yang ada campur tangan keinginan hamba dalam mengupayakan dirinya sendiri ataupun dari yang lainnya meskipun segala sesuatu tergolong ketentuan Allah. Allah Ta’ala berfirman: “…sesungguhnya kami telah menciptakan segala sesuatu dengan ketentuan…” (Al Qomar: 49)

Di antara ‘awaaridlul muktasabah yang dianggap sebagai takfier mu’ayyan:

A. Keliru dalam mengucapkan (salah ucap): Dia ucapkan kekafiran tanpa maksud mengucapkannya. Penghalang ini menggugurkan syarat kesengajaan, yaitu disyaratkan si mukallaf melakukan kekafiran seraya sengaja melakukannya sedangkan dalil penganggapan kekeliruan ini sebagai penghalang adalah firman Allah Ta’ala: “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padaanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja pada hatimu“ (Al Ahzab: 5)

Sedangkan dalilnya dari takfir adalah hadits orang yang kehilangan unta tunggangannya lalu ia mendapatkannya kembali, maka ia berkata: “…Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanMu…“ Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati orang itu bahwa ia keliru dalam ucapan kerena saking bahagia. (Mutafaqun ‘Alaihi)

Dan qarinah-qarinah keadaan memiliki peranan dalam menganggap dan tidak (menganggap)nya penghalang ini.

B. Keliru dalam ta’ wil: Ta’wil adalah menempatkan dalil syar’i tidak pada tempatnya atau syubhat (kesamaran)[1] yang muncul dari ketidakpahaman terhadap dilalah (penunjukan) nash, terus si mukallaf berani melakukan kekafiran sedangkan ia tidak memandang sebagai kekafiran seraya berhujjah dengan dalil yang ia keliru dalam memahami maknanya, sehingga dengan kekeliruan ini lengkaplah syarat kesengajan dan jadilah kekeliruan dalam ta’wil sebagai penghalang dari mengkafirkannya. Kemudian bila hujjah ditegakkan terhadapnya dan dijelaskan kekeliruannya kepadanya terus ia bersikukuh, maka ia kafir saat itu. Sedangkan dalil ini adalah kejadian Qudamah Ibnu Madh’un dan saya telah menuturkannya dalam peringatan penting yang dituturkan pada komentar saya terhadap ‘Aqidah Thohawiyyah dan di dalamnya Qudamah menghalalkan minum khamr ~sedangkan penghalalan meminumnya adalah kekafiran~ seraya berdalil dengan firmanNya Ta’ala: ”Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang soleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu“ (Al Maidah: 93)

Dengan ayat ini dia berhujjah atas Umar tatkala hendak menerapkan had terhadapnya, maka Umar menjelaskan kepadanya kekeliruannya dan menerapkan had terhadapnya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah berkata: “Atau ia keliru terus ia mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr sebagaimana telah keliru di dalam hal itu orang-orang yang di-istitabah (disuruh taubat) oleh Umar, dan yang semacam itu, maka sesungguhnya mereka itu di-istitabah dan ditegakkan hujjah atas mereka, kemudian bila mereka bersikukuh maka mereka kafir saat itu, dan mereka tidak divonis kafir sebelum itu sebagaimana para sahabat tidak memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un dan teman-temannya tatkala mereka melakukan kekeliruan dalam apa yang mereka keliru di dalamnya karena sebab ta’wil“ (Majmu’ Al Fatawa 7/610)

Kejadian ini telah menunjukkan kekeliruan dalam ta’wil adalah penghalang dari takfir dengan ijma’ sahabat sebagaiman ia juga masuk dalam keumuman firmannya ta’ala “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf terhadapnya“ (Al Ahzab: 5)

Namun begitu sesungguhnya tidak semua kekeliruan dalam ta’wil dianggap alasan yang diterima dan penghalang dari ta’wil: kekeliruan ta’wil yang diudzur dengannya adalah apa yang muncul dari pengamatan terhadap dalil syar’i terus ia keliru di dalam memahaminya.

Sedangkan kekeliruan dalam ta’wil yang tidak diudzur adalah apa yang muncul dari murni pemikiran dan hawa nafsu[2]. Tanpa bersandarkan kepada dalil syar’i seperti penolakan iblis kepada Adam seraya berdalih bahwa “…aku lebih baik dari dia, Engkau telah ciptakan aku dari api dan Engkau telah ciptakan dia dari tanah…” maka ini hanya sekedar pemikiran, dan seperti ta’wilat kelompok bathiniyyah yang dengannya mereka gugurkan kewajiban-kewajiban syar’i, maka sesungguhnya ia adalah murni hawa nafsu.

Dalam semua keadaan sesungguhnya kekeliruan dalam takwil gugur sebagai penghalang dengan penegakkan hujjah terhadap orang yang melakukan ta’wil.

C. Penghalang kebodohan

Umpamanya mukallaf melakulan kekafiran sedang ia tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran[3], maka kejahilannya -bila dianggap- menghalangi dari pengkafirannya, sedangkan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Dan kami tidak mungkin meng’adzab sampai kami mengutus seorang rasul“ (Al Isra’: 15), maka tidak ada ‘adzab di dunia dan di akhirat, kecuali setelah sampainya (risalah), dan telah lalu bahasan materi ini di bab ke enam dari kitab ini, serta telah saya utarakan di dalamnya bahwa kebodohan yang dianggap sebagai ‘udzur dan penghalang adalah kebodohan yang mana si mukallaf tidak memiliki peluang untuk menghilangkannya karena banyak sebab dari sisinya atau karena sebab dari sisi sumber-sumber ilmu. Adapun bila ia memiliki peluang untuk belajar dan untuk melenyapkan kebodohan terus ia taqshir (kurang peduli), maka ia tidak di-’uzdur dengan kebodohannya itu dan dia dianggap mengetahui secara hukum ~yaitu ia sama statusnya dengan yang mengetahui~ meskipun ia pada hakikatnya sebenarnya adalah tidak mengetahui[4]

D. Penghalang Paksaan

Dan ini lawannya sebagai syarat, adalah keberadaan mukallaf ini mukhtar (keinginan sendiri atau tidak dipaksa) untuk melakukannya dan dalil penganggapan ikhrah (paksaan) sebagai penghalang dari takfir adalah firmanNya ta’ala: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tentram dengan keimanan…“ (An Nahl: 106)

Disyaratkan dalam keabsahan paksaan tehadap kekafiran sebagai penghalang adalah keberadaan paksaan itu dengan ancaman hendak dibunuh atau hendak dipotong anggota badaannya atau mukallaf itu mengalami penyiksaan-penyiksaan yang dahsyat dan ini adalah pendapat jumhur dan inilah yang kuat. Dan akan datang pembicaran tentang ikrah dengan sedikit rincian di akhir mabhats ini Insya Allah.

· Mabuk yang lenyap akal bersamanya: Dalam penganggapannya sebagai penghalang dari takfir ada perselisihan. Ibnu Qoyyim menganggapnya sebagai penghalang dan ini adalah pendapat Ahnaf (madzhab Hanafi), berbeda dengan pendapat yang rajih dikalangan Hambali dan Syafi’iyyah berupa sahnya kemurtadan orang yang mabuk. (I’lamul Muwaqi’in 3/65 dan Kasysyaful Qinaa’, karya Al Bahutiy 6/176 serta Al Mughniy Ma’a Asy Syarhil Kabir 10/109)

· Ucapan kekafiran dalam rangka penghikayatan dari orang lain: Seperti orang-orang yang membaca ucapan orang-orang kafir yang telah Allah kisahkan kepada kita dalam Al Qur’an padahal Allah telah memerintahkan kita untuk membacanya dan seperti penyampaian saksi apa yang ia dengar berupa kekafiran di hadapan qodli, dan seperti penukilan ucapan-ucapan kekafiran untuk menjelaskan kerusakan yang ada di dalamnya untuk membantahnya. Semua ini adalah boleh atau wajib dan orang yang mengucapkannya tidak kafir (lihat Al Fashl, Ibnu Hazm 3/250). Oleh sebab itu dikatakan orang yang menukil kekafiran adalah tidak kafir dan di sini ada rincian penting:

Orang yang menukil kekafiran untuk tujuan syar’i yang shohih sebagaimana dalam contoh-contoh yang lalu, maka tidak apa-apa dan barang siapa menghikayatkannya dalam bentuk penganggapan baik dan ridho dengannya maka ia kafir sedangkan qarinah-qarinah keadaan memiliki peranan penting dalam membedakan antara keadaan-keadaan ini. Dalam menjelaskan rincian-rincian ini, Al Qodli ‘Iyadl berkata: “Orang yang mengatakan hal itu seraya menghikayatkan dari orang yang lain dan ia mementingkan daripada yang lainnya maka ia ditinjau dari bentuk penghikayatan dan qarinah ucapannya dan hukumnya berbeda-beda tergantung perbedaan hal itu menjadi empat bentuk: wajib, sunnah, makruh dan haram“, kemudian beliau menuturkan contoh-contoh untuk hukum-hukum ini maka silahkan rujuk dalam (As Syifa’ 2/997-1003). Dan rincian ini juga dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim alu Asy Syaikh dalam Majmu’ Al Fatawanya 12/196-197, kumpulan Muhammad Ibnu Abdurahman Ibnu Qosim.

· Bercanda, bergurau dan main-main, meskipun termasuk penghalang yang diupayakan, akan tetapi ia bukan termasuk penghalang dari takfir dengan kesepakatan ulama.

Dan bila kami telah menuturkan bahwa syarat-syarat takfir yang berkaitan dengan mukallaf bahwa ia itu baligh, berakal, mengetahui, sengaja lagi tidak dipaksa maka sesunguhnya penghalang-penghalang yang disebutkan tadi masing-masing darinya menggugurkan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat ini. Baligh sebagai syarat batal dengan status anak kecil sebagai penghalang, akal sebagai syarat batal dengan gila, idiot dan mabuk berat sebagai penghalang, ilmu (mengetahui) sebagai syarat dianggap batal dengan kebodohan sebagai penghalang, kesengajaan yaitu maksud melakukan sebagai syarat gugur dengan kekeliruan dengan sebab terpeleset lidah, kekeliruan dalam ta’wil dan penghikayatan kekafiran sebagai penghalang. Sedang ikhtiyar (keinginan sendiri) sebagai syarat bisa gugur dengan ikrah sebagai penghalang.

Perhatian Terhadap Pembicaraan Tentang Mawaani’ Takfir

Perhatian pertama: Mencari kejelasan mawaani’ masuk dalam penyebutan istitabah.

Ketahuilah, bahwa istitabah meskipun pada asalnya dimaksudkan dengannya adalah meminta taubat dan sedangkan ini tidak terjadi kecuali setelah dilakukan vonis kafir dan murtad sebagaimana yang akan kami tuturkan nanti insya Allah, akan tetapi sesungguhnya istitabah juga digunakan terhadap apa yang dilakukan sebelum digulirkan vonis yaitu berupa upaya mencari kejelasan, keterpenuhan syarat-syarat, dan ketidakadaan mawaani’. Dan dalam penjelasan ini Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”…atau ia keliru terus mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr, sebagaimana telah keliru dalam hal itu orang-orang yang diistitabah oleh Umar, serta yang serupa dengan itu, maka sesugguhnya mereka itu diistitabah dan ditegakkan hujjah atas mereka, kemudian bila mereka bersikukuh, maka saat itu mereka kafir dan tidak boleh divonis kafir sebelum itu sebagaimana para shahabat tidak memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un tatkala telah keliru dalam apa yang mereka keliru di dalamnya akibat takwil“. [Majmu’ Al Fatawa 7/610]. Jadi istitabah digunakan terhadap setiap apa yang terjadi di majelis pemutusan yaitu berupa upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan mawaani’ sebelum vonis dan berupa permintaan taubat setelah vonis.

Perhatian ke dua: Upaya mencari kejelasan mawaani’ itu wajib dikala mampu dan ia gugur saat sulit (ta’adzdzur). Dan di antara gambaran-gambaran ta’adzdzur ini adalah

Imtinaa ‘anil qudrah: Dan kami akan menjelaskan makna maqdur ‘alaih dan mumtani’ nanti insya Allah. Dan singkatnya bahwa maqdur ‘alaih adalah orang yang mana si qadli memiliki keleluasan dari menghadirkannya ke meja hijau dan ia memiliki keleluasan dari menegakkan had terhadapnya bila memang telah wajib (untuk mendapakan had)

Sedangkan mumtani’ adalah sebaliknya [5]

Adapun maqdur ‘alaih maka wajib tabayyunul mawaani’ (mencari penjelasan penghalang-penghalang takfier) padanya. Sedangkan mumtani’ adalah langsung divonis tanpa tabayyun mawani’[6]. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Dikarenakan mumtani’ itu tidak diistitabah namun yang diistitabah itu hanya maqdur ‘alaih “ [Ash Sharimul Maslul: 325-326] sedang telah lalu dijelaskan bahwa tabayyun mawani’ adalah masuk dalam penyebutan istitabah

Dan di antara gambaran-gambaran sulit tabayyunul mawani’: adalah mati

Bila agama si mayit adalah menjadi ajang perselisihan di antara ahli waris dimana sebagaian di antara mereka mengklaim bahwa ia mati dalam status muslim dan sebagian yang lain mengklaim bahwa ia mati dalam status murtad, maka dalam pemutusan terhadapnya cukup dengan kesaksian para saksi. Ibnu Qudamah berkata tentang ~tawanan muslim dinegeri kaum kafir~: “Bila tegak terhadapnya bahwa ia mengucapkan ungkapan kekafiran sedang ia ditahan dan diikat ditengah mereka dalam kondisi takut maka ia tidak divonis murtad, karena hal itu adalah nampak dalam paksaan, dan bila ada bukti bahwa ia itu aman saat megucapkannya, maka ia divonis murtad. Kemudian bila ahli waris mengklaim bahwa ia telah kembali kepada Islam maka tidak diterima kecuali dengan bukti, karena hukum asal adalah tetapnya dia di atas keadaannya.“ [ Al Mughni Ma’asy Syarhul Kabir: 10/106]

Ucapan kami ini bukan tentang orang yang dipaksa tetapi orang yang mengucapkan kekafiran sedang ia aman, maka ia divonis murtad walaupun ada kemungkinan adanya penghalang padanya seperti kejahilan yang dianggap atau takwil atau penghikayatan kekafiran dan yang lainya, namun demikian dia divonis murtad dengan kesaksian para saksi saja tanpa tabayyunul mawani’ karena ta’dzdzur (sulit) sebagaimana yang dituturkan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni Ma’asy Syarhul Kabir: 10/109 dan Al Umm karya Asy Syafi’i: 6/158

Dalam semua gambaran ini, orang divonis murtad tanpa tabayyunul mawani’ dan tanpa istitabah. Dan bila ia mati dalam kondisi kafir maka para ahli waris yang muslim tidak mewarisinya namun demikian bila ada para saksi yang bersaksi akan keberadaan takfir pada mumtani’ atau si mayit itu, maka wajib dianggap.

Perhatian ke tiga:

Rujukan dalam penganggapan sesuatu sebagai penghalang takfir adalah secara muthlaq kepada syari’at, sedang penganggapannya sebagai peghalang pada orang tertentu, rujukannya adalah kepada qadli [7]

Penghalang dari takfir adalah suatu yang telah terbukti dengan dalil syar’iy bahwa ia adalah seperti itu dan suatu yang tidak terbukti dengan dalil, maka tidak dianggap sebagai penghalang walau dikira oleh manusia sebagai penghalang atau mereka beralasan dengannya dan dalam perhatian yang ke lima akan kami tuturkan contoh-contoh untuk itu.

Adapun anggapan suatu penghalang pada orang tertentu maka rujukannya kepada qadli yang mengkaji pangaduan-pengaduan. Kejahilan dan paksaan adalah tergolong penghalang-penghalang takfir yang terbukti ada dengan dalil-dali syar’iy, adapun penganggapan orang tertentu sebagai orang yang bodoh atau dipaksa maka penilaiannya dikembalikan kepada qadli[8]

Perhatian ke empat: Bila penghalang lenyap terus orang bersikukuh terhadap kekafiran, maka ia kafir.

Penghalang itu ada yang hilang dengan sendirinya (seperti status sebagai anak kecil) ada yang hilang dengan hilangnya sebab (seperti paksaan atau mabuk) dan ada yang hilang dengan penegakkan hujjah (seperti kebodohan dan kekeliruan dalam takwil), bila penghalang ini lenyap dan orang bersikukuh terhadap kekafiran yang ia ucapkan atau ia lakukan saat ada penghalang, maka ia kafir dari saat ini.

Perhatian ke lima: Hal-hal yang tidak dianggap sebagai mawani’ dari takfir secara syar’iy.

Mawani’ (penghalang-penghalang) hukum ~yang di antaranya adalah mawani’ vonis takfir~ yang dianggap secara syariat adalah hal-hal yang terbukti dengan dali-dalil syar’iy sehingga apa yang ditunjukkan oleh dalil atau ditentang oleh dalil, maka kami tidak menganggapnya, itu dikarenakan sebagian manusia terlalu berlebihan dalam menghalangi dari takfir dengan udzur-udzur yang tidak diangap secara syar’iy, karena tidak semua alasan yang digunakan oleh manusia bisa diterima, Allah Ta’aala berfirman:

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: ”Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: ”Apakah dengan Allah, Ayat-ayat-Nya, dan rasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman“. (Q.S. At Taubah [9]: 65-66)

Mereka mengucapkan alasan (udzur) akan tetapi alasan mereka tidak diterima. Dan serupa dengan firman Allah Ta’aalaa:

Mereka (munafiqun) mengemukakan udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang) Katakanlah: ”Janganlah kamu mengemukakan udzur, kami tidak percaya lagi kepadamu” (Q.S. At Taubah [9]: 94)

Jadi tidak setiap udzur bisa diterima sebagai penghalang.

Di antara udzur-udzur yang bathil:

· Keberadaan orang yang telah terbukti kekafirannya itu ~dengan sebab memohon kepada selain Allah atau dengan sebab menghina agama ini umpamanya~ mendatangkan dua kalimat syahadat atau ia shalat terus sebagian orang mengira bahwa itu bisa menghalangi dari mengkafirkannya, padahal tidak seperti itu.

Dan telah lalu diingatkan bahwa seorang hamba tidak masuk ke dalam iman haqiqi kecuali dengan sejumlah gabungan cabang-cabang iman, akan tetapi dia keluar darinya dari satu cabang saja dan untuk menghukumi kekafiran dia tidaklah mesti dengan lenyapnya seluruh cabang-cabang iman yang ada padanya dengan hal itu bahwa ia bisa menjadi kafir sedang sebagian cabang-cabang iman masih ada padanya, akan tetapi itu tidak bermanfat bersama kekafirannya. Allah Ta’aalaa berfirman:

“Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah melaikan mereka itu menyekutukan (Nya)“ (Q.S. Yusuf [12]: 106)

Allah Subhaanahu Wa Ta’aala menetapkan pada mereka bersama iman ada syirik. Dan dalam uraian yang lalu saya telah menuturkan dali-dalil dan contoh-contoh yang tidak perlu lagi tambahan. Dan di antara itu apa telah saya tuturkan dalam perhatian penting yang disebutkan pada komentar saya tentang ‘Aqidah Thahawiyyah, yaitu bahwa para sahabat telah ijma’ terhadap kekafiran orang-orang yang menolak (membayar) zakat dan para sahabat tidak menamakan mereka dengan selain itu. Di mana mereka telah menamakan mereka sebagai orang-orang yang meninggalkan shalat dan menolak membayar zakat, maka ini menunjukan bahwa mereka itu melakukan shalat. Dan seperti mereka adalah orang-orang yang dikafirkan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud dan para shahabat yang bersamanya sedang mereka itu melakukan shalat di masjid Bani Hanifah di Kuffah. Ini semua adalah dalil-dali syar’iy dan sekaligus sebagai contoh dalam waktu yang bersamaan.

· Memberikan alasan buat orang yang kafir bahwa para pemimpin mereka dan para syaikh mereka menyesatkan mereka dan menipu mereka. Dan ia adalah udzur yang batil berdasarkan firman-Nya Ta’aalaa:

”Dan (alangkah hebatnya) jika kamu melihat orang-orang yang zhalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebahagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: ”Kalau tidak bersamamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: ”Kamikah yang menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu?, (Tidak) Sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa”. Dan orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: ”(Tidak) Sebenarnya tipudaya(mu) di waktu malam dan siang (yaitu menghalangi kami) ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadi sekutu-sekutu bagi-Nya. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat ‘adzab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang mereka kerjakan.“ (Q.S. Saba’ [34]: 31-33)

Maka terbuktilah dengan nash ini bahwa para tokoh itu menyesatkan orang-orang yang lemah, mereka membuat tipu daya terhadapnya dan memerintahkannya untuk kafir, namun ini tidak menjadi penghalang dari mengkafirkan orang-orang yang lemah dan dari keberhakkan mereka akan ancaman. Bahwa sesungguhnya penyesatan yang diduga oleh sebagian orang sebagai udzur adalah suatu macam dari macam-macam kekafiran ~yaitu kufur taqlid~ sebagaimana yang kami utarakan dan ia adalah kekafiran kaum awam Yahudi, Nashrani, dan kelompok-kelompok kafir lainnya di mana kaum awam mereka taqlid kepada para tokoh mereka yang menyesatkan mereka, sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa:

“Katakanlah: ”Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Q.S. Al Maidah [5]: 77)

Dan ayat-ayat yang datang berkenan dengan sikap taqlid orang kafir terhadap apa yang dibawa pendahulu mereka adalah sangat banyak dan begitu juga ayat tentang sikap berbantah-bantahan antara pengikut dengan yang diikutinya serta sikap berlepas diri salah satu dari yang lainnya adalah sangat banyak dalam ayat-ayat surat Saba’ yang lalu dan sebagaimana dalam surat Al Baqarah [2]: 166-167, Al A’raf [7]: 38-39, Ibrahim [14]: 21, AL Ahzab [33]: 64-68, dan Al Mukmin/Ghafir [40]: 47-48.

· Memberikan udzur bagi orang murtad bahwa ia itu termasuk ulama dan seolah mereka itu ma’shum (terjaga) dari kekafiran, padahal Allah Ta’aalaa saja berfirman: “Dan andai mereka bertaubat syirik, tentu lenyaplah dari mereka apa yang mereka kerjakan “ (Al An’am: 88)

dan serupa dengannya firman Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa:

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Q.S. Az Zumar [39]: 65)

Bila kekafiran tidak mungkin terjadi pada diri Nabi, maka ia tidak tercegah terjadi pada orang yang di bawah tingkatan mereka. Orang alim walaupun ilmunya telah tinggi akan tetapi bisa saja menjadi kafir dan sedangkan amalan itu tergantung penghujungnya. Dan contohnya adalah firman Allah Ta’aalaa:

“Dan bacalah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi al kitab) kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu ia diikuti oleh syaitan (sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat” (Q.S. Al A’raf [7]: 175)

Dan contoh-contohnya pada umat ini adalah banyak, mulai dari orang yang murtad dimasa hidup Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah Ibnu Sa’ad Ibnu Abis Sarah yang mana sebelumnya adalah penulis wahyu bagi Nabi, kemudian orang yang murtad setelah wafat Nabi, dan banyak penyeru bid’ah mukaffirah adalah mereka itu tergolong ahli ilmu syar’iy, seperti Qodariyyah dan orang-orang yang menafikan ilmu Allah yang mana mereka itu sedah dikafirkan oleh Ibnu Umar di awal hadits dalam Shahih Muslim di mana telah datang tentang sifat mereka yaitu bahwa mereka itu (membaca Al Quran dan sangat antusias terhadap ilmu) dan sungguh keburukan itu lebih banyak dikalangan muta’akhirin dari pada keberadaannya di kalangan orang-orang terdahulu, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak datang kepada kalian suatu haripun melainkan yang sesudahnya lebih buruk dari padanya” [H.R. Al Bukhariy]

Dan kami melihat pada zaman kita ini para penguasa murtad di berbagai negeri masing-masing dari mereka sekelompok para Syaikh yang mana dia (penguasa murtad) itu telah memasang pada para Syaikh itu gelar-gelar yang panjang seperti Ashabul Fadlilah dan Samahah, dalam rangka untuk menipu orang-orang awam untuk melariskan kebatilan mereka, sedang para Syaikh itu menyandangkan pakaian iman dan Syar’iyyah Islamiyyah (keabsahan secara syari’at) dalam rangka menipu masyarakat awam, maka para syaikh itu dan orang-ornag yang semisal mereka adalah ornag-orang yang kafir dan murtad tanpa ada keraguan, berdasarkan firman Allah Ta’aalaa:

“Barangsiapa di antara kamu tawalliy kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka“ (Q.S. Al Maidah [5]: 151)

Dan karena sebab ridho mereka dengan kekafiran serta karena mereka tidak mengkafirkan para penguasa kafir yang telah ditunjukkan kekafirannya oleh dalil. Abdullah Ibnu Mubarak berkata:

“Tidak ada yang merusak agama ini kecuali para penguasa

dan para ulama suu’ dan para ahli ibadahnya.”

Dan sebagai contoh untuk masalah yang lalu ~yaitu keberadaan orang yang menyesatkan itu bukan udzur bagi orang yang mengikutinya dan bahwa sebagian orang yang diberi karunia ilmu itu bisa saja menjadi kafir~ adalah bahwa seorang laki-laki yang bernama Nahar Ar Rajjal Ibnu ‘Unfuwah mendampingi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan ia mendalami agama, kemudian Nabi mengirimnya untuk mengajari penduduk Yamamah kaum Musailamah Al Kadzdzab, terus ia malah murtad dan mengikuti Musailamah serta menjadi saksi baginya bahwa Nabi menyertakan ia bersamanya dalam kerasulan, dan manusiapun membenarkan Nahar dan mereka mengikuti Musailamah karena merasa percaya kepada Nahar Ar Rajjal, namun hal ini tidak menghalangi para sahabat dari mengkafirkan dan memerangi mereka.

Dan Ath Thabariy menuturkan beritanya dalam Tarikhnya ia berkata: “(telah menulis kepada saya As Sirry) dari Syu’aib dari Saif dari Thalhah Ibnu A’lam dari ‘Ubaid ibnu ‘Umair dari Utsal Al Hanafiy ~di mana ia bersama Tsumamah Ibnu Utsal~ berkata: ”Musailamah itu membujuk setiap orang, melunakkan hatinya dan ia tidak peduli bila orang-orang melihat darinya hal-hal yang buruk dan ia disertai Nahar Ar Rajjal Ibnu ‘Unfuwah sedang Nahar itu pernah hijrah kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, membaca Al Quran, dan menekuni agama ini. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk mengajari penduduk Yamamah dan untuk memojokkan posisi Musailamah serta untuk mengokohkan posisi kaum muslimin, namun teryata ia lebih dahsyat fitnahnya bagi Banu Hanifah daripada Musailamah. Dia bersaksi baginya bahwa Ia telah mendengar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya ia telah disertakan (dalam kerasulan) bersamanya“, kemudian mereka mempercayainya dan menyambutnya serta mereka memerintahkannya agar menyurati Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka menjanjikannya kepadanya bila Muhammad tidak menerimanya mereka akan membantu dia terhadap Muhammad” selesai.

Dan Ath Thabariy berkata juga: “Telah menulis kepada saya As Surriy, berkata: ”Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Saif dari Thalhah dari Ikrimah dari Abu Hurairah dari Abdullah Ibnu Sa’id dari Abu Sa’id dari Abu Hurairah, berkata: Abu Bakar telah mengirim (utusan) kepada Ar Rajjal, terus ia mendatanginya maka beliau memberikan pesan kepadanya kemudian beliau mengutusnya ke penduduk Yamamah sedang beliau memandang bahwa dia itu jujur, saat memenuhi panggilannya. Berkata (Ikrimah dan Abu Sa’id): Abu Hurairah berkata: saya duduk bersama Nabi di tengah banyak orang, bersama kami ada Ar Rajjal Ibnu ‘Unfuwah, maka beliau berkata: Sesungguhnya di antara kalian ada seorang laki-laki yang gusinya di dalam neraka lebih besar dari gunung Uhud. Maka orang-orang itu sudah meninggal, tinggallah saya dengan Ar Rajjal, maka saya sangat takut sekali, sampai akhirnya Ar Rajjal keluar bersama Musailamah terus ia menjadi saksi darinya dengan kenabian, sehingga fitnah Ar Rajjal lebih besar daripada Musailamah sehingga Abu Bakar mengutus Khalid kepada mereka”. selesai [Tarikh Ath Thabariy 2/276 dan 278 terbitan Darul Kutub AI ‘llmiyyah 1408 H]

Dan secara umum sesungguhnya penghalang-pemghalang hukum ~yang di antara penghalang-penghalang takfir~ yang dianggap dalam syari’at adalah apa yang penganggapannya telah ditujukan oleh dalil-dalil syar’iy bukan apa yang diduga oleh manusia sebagai penghalang. Inilah (uraiannya) Wabillahit taufiq.

7. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: Dan memvonis terhadapnya orang yang layak untuk menghukumi, maka makna [dan memvonis terhadapnya], yaitu dengan vonis kafir dan murtad dengan sebab perbuatannya yang mukaffir bila terpenuhi syaratnya dan penghalangnya tidak ada. Sedang makna (orang yang layak untuk menghukumi) yaitu seperti qadli, mufti, dan yang lainnya dari kalangan ahlu ilmu dan seyogyanya dia itu mujtahid bardasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Bila hakim memutuskan terus dia ijtihad kemudian tepat, maka ia mendapat dua pahala dan bila dia memutuskan terus dia ijtihad kemudian dia keliru, maka ia mendapat satu pahala“ [Mutaffaq ‘alaih]

Bila mujtahid tidak ada, maka muqallid sesuai urutan yang telah kami utarakan dalam Maratibul Muftin di bab ke 5 dari kitab ini. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Dan syarat-syarat para qadli adalah diperhitungkan sesuai dengan kemungkinan dan wajib mengangkat orang yang paling layak kemudian yang berikutnya. Dan ini ditunjukan oleh ucapan Ahmad dan yang lainnya kemudian karena tidak adanya yang layak, maka diangkat orang yang paling adil dan paling minimal keburukannya. Antara dua orang fasiq serta dua orang paling adil dan paling mengetahui akan taqlid di antara dua orang yang bertaqlid“ [Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, kumpulan ‘Alauddin Al Ba’iliy, tahqiq Al Faqiy terbitan Darul Ma’rifah: 332]

Dan di sini ada rincian:

A. Barang siapa murtad di Darul Islam, maka putusan terhadapnya adalah di tangan qadliy pemilik kewenangan peradilan, sedangkan orang yang berbicara tentang hal ini dari kalangan para ulama selain qodliy, maka ucapan mereka adalah fatwa dan bukan putusan. An Nawawiy rahimahullah berkata: “ ~dalam pemberian fatwa si mufti tentang masalah-masalah kemurtadan~ (Ash Shumairiy dan Al Khathib berkata: ”Bila ditanya tentang orang yang berkata: Saya lebih jujur dari Muhammad Ibnu Abdillah atau bahwa shalat itu main-main dan yang serupa itu, maka jangan segera menjawab: “Ini halal darahnya atau mesti dibunuh”, namun ia (mesti) mengatakan: “Bila ini benar dengan pengakuannya atau dengan bukti (saksi), maka sulthan mengistitabahnya, bila ia taubat, maka diterima taubatnya dan bila ia tidak menyebutkan banyak hal dalam hal itu. Berkata ~yaitu Ash Shumairiy dan Al Khathib~ ;

Dan bila ditanya tentang orang yang menyatakan sesuatu yang memiliki kemungkinan kekafiran dan yang lain “Maka berkata: orang yang berbicara ini ditanya bila kamu memaksudkan begini maka jawabannya begini“ Al Majmu’ 1/49

Jadi putusan /vonis di negara Islam (Darul Islam) adalah di tangan qodliy yang mengkaji berbagai pengaduan bukan para mufti karena qodli dengan konsekuensi kewenangannya da’i-lah yang leluasa meneliti keterpenuhan syarat-syarat dan ketiakadaan mawani’ sebagaimana sesungguhnya putusan qodliy itu mengangkat perselisihan dan putusannya tidak dibatalkan, kecuali apa yang menyelisihi nash kitab atau sunnah atau ijma’. Lihat Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir 11/403-405 dan I’lamul Muwaqi’in 4/224.

Dan di antara contoh apa yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin dalam hal ini adalah kejadian yang dituturkan Ibnu Katsir dalam tragedi-tragedi tahun 701 H, berkata: ” Pada hari Senin 24 Rabi’ Al Awwal dibunuh Al Fath Ahmad Ibnu Ats Tsaqofiy di Mesir, dia divonis oleh Al Qodliy Zainuddin Ibnu Makhluf Al Maliki dengan apa yang telah terbukti padanya berupa sikapnya menghina syari’at dan memperolok-olok ayat muhkamat serta membenturkan ayat-ayat musytabihat satu sama lain. Disebutkan darinya bahwa dia menghalalkan hal-hal yang haram seperti homosex, khamr dan yang lainnya bagi orang-orang yang berkumpul bersamanya dari kalangan orang-orang fasiq dari Turki dan orang-orang bodoh lainnya. Ini padahal dia itu memiliki keutaman ibadah dan sikap yang indah secara zhahir, penampilan dan pakaiannya baik dan tatkala ia dihadirkan di Syubbak Dar Al Hadits Al Kamiliyyah di antara dua istana dia meminta tolong kepada Al Qodliy Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Ied, maka ia berkata: Apa yang kamu ketahui dari saya? Maka ia berkata: “Saya mengetahui dari kamu keutamaan, tetapi vonis kamu diserahkan kepada Al Qodliy Zainuddin, maka sang qodliy memerintahkan sang gubernur untuk memenggal lehernya, maka kepalanya dipenggal dan kepalanya diarak di negeri, dan diseru terhadapnya: Inilah balasan orang yang mencela Alloh dan RasulNya “ Al Bidayah Wa Nihayah 14/18

Jadi putusan vonis pelaku tindak pidana adalah diserahkan kepada ulama meskipun sebagian ulama bersaksi akan keutamaan dia dan yang lain sebagaimana kejadian ini.

B. Barangsiapa yang murtad dan dia lari ke darul harbi atau dia murtad di darul harbi [9], maka boleh bagi setiap yang memiliki kelayakan baik itu qodliy atau yang lainnya untuk memvonis dia dan boleh bagi setiap orang untuk menerapkan vonisnya(eksekusi). Dan di dalamnya ada rincian yang akan datang di point 10 insya Allah.

8. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Bila orang itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam“

Makna maqdur ‘alaih adalah yang di bawah kekuasan sulthan (muslim) dan qadliy baik secara sebenarnya dengan penahanannya maupun secara hukum dengan adanya keleluasan mereka untuk memanggilnya, mengintrogasinya lagi dia tidak menolak dari mereka. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Dan makna qudrah ‘alaihim adalah adanya keleluasan untuk menerapkan had terhadap mereka karena keterbuktianya dengan bukti atau pengakuan sedang mereka itu berada dalam genggaman kaum muslimin.” [Ash Sharimul Maslul: 507]

Dan ucapan saya: “di Darul Islam“ adalah takfir bagi ucapan saya “maqdur ‘alaih”, kerena sesungguhnya orang tidak menjadi maqdur ‘alaih kecuali bila ia berada di Darul Islam, sebab sesungguhnya sekedar keberadaanya di Darul Harbi adalah benteng kekuatan baginya dari kekuasan kaum muslimin, namun ini tidak berarti bahwa seluruh orang yang ada di Darul Harbi adalah maqdur ‘alaihim, akan tetapi bisa jadi seseorang di Darul Islam itu maqdur ‘alaih atau dia itu mumtani’, sedang imtina’ (yaitu status mumtani’) di Darul Islam tidak mungkin terjadi kecuali dengan pembangkangan ketaatan terhadap imam dan menenteng senjata atau mengerahkan senjata dan para pendukungnya sebagaimana ia adalah keadaan para pembegal. Dan ucapan saya “Darul Islam “ adalah setiap negara yang diperintah dengan syari’at Islam.

Mawardiy telah menuturkan pembeda antara orang yang murtad maqdur ‘alaih dan orang yang murtad mumtani’ dan itu dalam ucapannya tentang memerangi kaum murtaddin di bab Hurubul Mushalih dari kitabnya Al Ahkam As Sulthanniyyah. Beliau berkata: “Bila mereka itu tergolong orang-orang yang wajib dibunuh dengan sebab mereka murtad dari agama al haq ke ajaran yang lain, maka keadaan mereka tidak lepas dari salah satu dari dua hal: Bisa jadi mereka berada di Darul Islam sebagai orang-orang yang ganjil dan individu-individu yang tidak memblok di suatu negeri yang dengannya mereka membedakan diri dari kaum muslimin maka kita tidak butuh memerangi mereka karena mereka masuk di bawah penguasan (penguasa muslim) dan dicari tahu tentang sebab riddah mereka ~sampai ucapan~. Dan orang yang menetap di atas kemurtaddannya dan tidak taubat maka wajib dibunuh baik laki-laki maupun perempuan, ~kemudian berkata~: Keadaan kedua: mereka memblok ke suatu negeri yang dengannya mereka menyendiri dari kaum muslimin sehingga di dalamnya mereka menjadi mumtai’in… “ [Al Ahkam As Sulthaniyyah: 69-70, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1405 H).

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Sanksi-sanksi yang dibawa syari’at ini untuk orang yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya ada macam: Pertama: sangsi buat maqdur ‘alaih, baik itu satu orang maupun berbilang sebgaimana yang telah lalu. Dan kedua: sanksi buat thaifah mumtani’ah seperti kelompok yang tidak bisa dikuasai kecuali dengan qital.” [Majmu Al Fatawa: 28/349].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata juga: ”Nash ini tentang murtad yang maqdur ‘alaih, sedangkan itu tentang orang yang memerangi lagi mumtani’“. [Minhajus Sunnah An Nabawiyyah: 455 dengan tahqiq Dr. Muhammad Rasyid Salim].

Dan yang dimaksud adalah penjelasan bahwa syari’at ini telah datang dengan membedakan antara sanksi maqdur ‘alaih dan saksi mumtani’, sedang imtina’ itu tidak terkhusus dengan thaifah ataupun individu sebagaimana pada keadaan murtadnya Abdullah Ibnu Sa’ad Ibnu Abis Sarah dan kaburnya dia ke Makkah sebelum Fathul Makkah, dan setiap kitab fiqh pasti ada membedakan antara kedua macam ini.

Dan di antara yang seyogyanya diketahui adalah kaidah syari’at tentang membedakan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’ adalah kaidah yang baku sampai-sampai syari’at ini membedakan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’ dari hewan-hewan yang dimakan, di mana tidak halal memakan maqdur ‘alaih dari hewan itu, ~meskipun asalnya liar seperti kijang~ kecuali dengan sembelihan syar’iy yaitu disembelih dileher, sedangkan halal memakan mumtani’ dari hewan-hewan itu ~meskipun asalnya jinak seperti onta~ dengan tusukan benda tajam dibagian badan mana saja seperti pada hewan buruan. Jadi kaidah syari’at adalah memperketat syarat-syarat pada maqdur ‘alaih dan memperlonggar dalam mumtani’.

9. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Maka ia disuruh taubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya” dan ini adalah bagi maqdur ‘alaih”.

Ketahuilah bahwa istitabah pada asalnya digunakan pada permintan taubat dari orang-orang murtad, yang mana artinya adalah bahwa tidak diistitabah kecuali orang-orang yang sudah divonis murtad, akan tetapi digunakan juga dalam ucapan ulama terhadap apa yang mendahului vonis berupa upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang. Dan atas dasar ini maka sesungguhnya istitabah itu digunakan terhadap setiap apa yang terjadi di majelis vonis atau hukum berupa upaya pencarian kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang (takfir) sebelum vonis dan permintan taubat setelah vonis murtad. Dan jelas ini bahwa bila thalibul ilmu membaca pada kitab-kitab ilmu (bahwa barangsiapa mengatakan begini atau melakukan begitu maka dia diistitabah) maka ungkapan ini tidak mesti bahwa orang ini telah kafir dan diminta taubat darinya, akan tetapi ia berarti telah muncul darinya ucapan atau perbuatan mukaffirah dan wajib mencari kejelasan keadaannya, yaitu mencari kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang, dan setelahnya bisa jadi dihukumi ketidak-bersalahan dia dan bisa jadi divonis murtad.

(A) Adapun penggunakan istitabah terhadap upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang sebelum penetapan vonis terhadap orang yang muncul darinya ucapan atau perbuatan mukaffir, maka ini adalah tsabit (ada terbukti) dengan ijma’ shahabat radliyallahu ‘anhum, sebagaimana yang dituturkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam ucapannya: Adapun hal-hal fardlu yang empat, maka bila orang mengingkari sesuatu darinya setelah sampainya hujjah maka ia kafir, dan begitu juga orang yang mengingkari pengharaman sesuatu dari hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir pengharamannya seperti fawahisyi (zina dan perbuatan keji lainnya), zalim, dusta dan yang lainnya. Adapun orang yang belum tegak hujjah terhadapnya seperti orang yang baru masuk Islam atau tinggal di pedalaman yang jauh yang tidak sampai di dalamnya ajaran-ajaran Islam dan yang lainnya, atau dia keliru terus mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecuali dari pengharaman khamr sebagaimana telah keliru dalam hal itu orang-orang yang diistitabah oleh Umar serta yang serupa dengannya, maka sesungguhnya mereka itu diistitabah dan ditegakan hujjah terhadap mereka kemudian bila mereka bersikukuh, maka saat itu mereka kafir, dan tidak boleh mereka divonis kafir sebelum itu sebagaimana para shahabat telah memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un dan para shahabatnya tatkala telah keliru dalam apa yang mereka keliru di dalamnya akibat takwil“ [Majmu Al Fatawa: 7/609-610].

Maka nampak dari ucapanya ini bahwa istitabah digunakan terhadap tabayyunul mawani’ dan penegakan hujah sedangkan ini terjadi sebelum vonis murtad sebagaimana ucapannya: “dan tidak boleh mereka divonis kafir sebelum itu”.

Dan diistitabah ini wajib bersama maqdur ‘alaih dan ia dikatakan sebisanya bersama mumtani’, di mana bila sampai kepada orang yang memvonis mumtani’ yang muncul darinya kekufuran itu (berita) keberadaan penghalang pada orang itu, maka ia wajib menganggapnya, akan tetapi tidak wajib atas seorang yang memvonis dia itu untuk untuk meneliti mawani’ dan tidak pula mengaitkan vonis kepadanya terhadap hal itu terutama bila sikap tawaquf (diam sambil meneliti) itu menimbulkan kerusakan terhadap kaum muslimin, dan akan datang penuturan dalil-dalil terhadap hal itu di point berikutnya insya Allah saat berbicara tentang mumtani’.

(B) Adapun istitabah dengan makna permintaan taubat dari orang yang sudah divonis murtad, maka inilah yang masyhur dalam kitab-kitab ilmu dan ia telah ditunjukkan oleh banyak dalil seperti firman-Nya: “Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah Islam ~sampai firman-Nya~ maka jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi mereka” (Q.S. At Taubah [9]: 74)

Dan firman-Nya Ta’ala: “Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir, sesudah mereka beriman ~sampai firman-Nya~ kecuali orang-orang yang taubat sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan”. (Q.S. Ali Imran [3]: 86-89).

Dan dalam kisah kaum yang murtad dari Banu Hanifah di Kuffah: Di masa kegubernuran Abdullah Ibnu Mas’ud ~ada dalam apa yang diriwayatkan Al Baihaqiy~, “…Kemudian beliau meminta pendapat orang-orang tentang mereka itu, maka ‘Addy Ibnu Hatim mengajarkan agar mereka dibunuh, maka berdirilah Jarir dan Al As’ats, keduanya berkata: ”Jangan, tapi suruh mereka bertaubat dan mintalah jaminan keluarga-keluarga mereka“, maka mereka taubat dan dijamin oleh keluarga-keluarga mereka“. [Ibnu Hajar menukilnya dalam Fathul Bari: 4/470]

Dan saya sudah menukil kisah ini seluruhnya sebelumnya.

Ucapannya “suruh mereka bertaubat…..maka mereka bertaubat” menunjukkan bahwa istitabah disini adalah wajib menurut mayoritas para ulama dan kalangan Ahnaf, ahli dlahir, dan Asy Syaukani mengatakan bahwa itu tidak wajib, sedang yang kuat adalah wajibnya istitabah. Dan Ibnu Qashshar dari kalangan Malikiyyah telah menghikayatkan ijma sahabat terhadap hal itu, yaitu ijma Sukutiy, [lihat Asy Syifa’, Al Qadliy ‘Iyadl: 2/1023-1025 terbitan Al Halaby].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menghikayatkan ijma shahabat terhadap wajibnya istitabah orang yang murtad dalam Ash Sharimul Maslul: 323 dan juga silahkan rujuk Fathul Bari: 12/269, Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir: 10/76, Al Majmu An Nawawiy: 19/229, As Sail Al Jarrar, Asy Syaukaniy: 4/373, dan Ash Sharim Al Maslul: 321 dan seterusnya.

Taubat orang yang murtad adalah dengan cara ia mendatangkan dua kalimah syahadat dan sikap rujuknya dari apa yang dia menjadi kafir darinya. Lihat referensi-referensi yang lalu. Ibnu Muflih Al Hambaliy berkata: ”Guru kami berkata: “Para imam sepakat bahwa orang murtad bila masuk Islam, maka dia telah terjaga darah dan hartanya meskipun tidak divonis oleh hakim“ [Al Furu’ 6/172, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyyah]. Ucapan “guru kami “ maksudnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[1] Penghalang takfir dengan sebab takwil tidak berlaku dalam hal-hal yang tidak ada peluang ijtihad di dalamnya atau hal-hal yang jelas serta diketahui secara pasti dalam dien ini, seperti masalah syirik akbar dan yang serupa dengannya. Oleh sebab itu Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah telah menyatakan ijma’ tidak diterima dan tidak diudzurnya orang melakukan ta’wil dalam hal itu dalam risalah beliau (Al Intishar Lihizbillahil Muwahiddin) juga para imam da’wah Najdiyyah dalam risalah-risalah mereka

Silahkan merujuk Al Muttammimah Li Kalaam Aimmatid Da’wah juga At Taudlih Wa Tatimmat tulisan Syaikh Ali Khudlair hafidhahullah juga Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah di muqaddimah bahasan Mawani’ Takfier karya Al Maqdisiy hafidhahullah.

Dan untuk yang ringkas silahkan rujuk bundel PMJ dalam Risalah Barang Siapa Kafir kepada Thaghut… tulisan penetrjemah (pent.)

[2] Ta’wil dalam masalah tauhid dan syirik dan yang dalilnya jelas adalah murni hawa nafsu seperti ta’wil syura’ dengan demokrasi (pelimpahan hak khusus ketuhanan kepada makhluk) dalam rangka legakkan masuk majelis syirik. (pent.)

[3] Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidhaullah berkata: “Ucapan beliau (Syaikh Abdur Qodir): “…maka tidak ada ‘azdab di dunia dan di akhirat kecuali setelah sampainya risalah…“ Maka ini adalah pemuthlaqan yang perlu ditinjau sedangkan yang wajib adalah membatasinya dengan apa yang tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena ashlut tauhid (yaitu ajaran hanif) adalah Allah tegakkan dengan hujjah yang amat jelas, barang siapa yang tidak merealisasikan ashlut tauhid dan justru dia menggugurkannya serta mati di atas syirik dan tandid maka tanpa ragu lagi dia di’adzab di akhirat. Dan ini dibuktikan oleh banyak dalil di antaranya: Apa yang diriwayatkan Al Imam Ahmad dan Muslim dari Anas bahwa Nabi SAW melewati Bani An Najar maka beliau mendengar suara, beliau berkata: “Ada apa ini?” maka mereka berkata: “Kuburan seorang laki-laki semasa jahiliyyah”, maka Nabi berkata: “seandainya kalian tidak saling tidak menguburkan tentu saya akan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla akan memperdengarkan kepada kalian dari siksa kubur ini apa yang Dia perdengarkan kepada saya”. Dan lebih jelas dari itu apa yang diriwayatkan Ath Thabrani dan yang lainnya bahwa seorang badui datang kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya bapakku suka menyambungkan persaudaran dan suka ini dan itu maka dimana ia itu?” Beliau berkata: “Di neraka”. Maka seolah si arab badui itu tersentak dari hal itu terus dia berkata: “Wahai Rasulullah dimana ayah engkau?”, maka beliau menjawab: “Di mana saja kamu melewati kuburan orang kafir maka beri kabar dia dengan neraka”. Maka setelahnya orang badui itu masuk Islam, kemudian berkata: “Rasulullah shalalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tugas kepada saya: “Tidaklah aku melewati kuburan orang kafir melainkan aku beri kabar dia dengan neraka”.

Dan serupa dengannya apa yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Anas radliallahu’anhu bahwa seseorang berkata: “Wahai Rasulullah dimana ayah saya?”, beliau menjawab: “Di neraka”, kemudian tatkala ia pergi beliau memanggilnya terus berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”.

Sedangkan mereka itu tergolong kaum yang telah Allah Ta’ala firmankan tentangnya: “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk“ (As Sajadah: 3)

Dan firmanNya Ta’ala: “Agar kamu memberi peringatan kapada kaum yang bapak-bapak mereka belum diberi perinagatan karena itu mereka lalai “ (Yasin: 6)

Maka sahlah dengan nash wahyu bahwa mereka itu adalah kaum yang di ‘adzab di akhirat padahal sesugguhnya tidak datang kepada mereka seorang pemberi peringatanpun serta bahwa mereka itu lalai terhdap nash Al Qur’an. Dan ini adalah dalil bahwa orang yang membatalkan ashlut tauhid dari kalangan orang mukallaf serta mati di atas syirik dan tandid yang nyata adalah bahwa ia itu di’adzab di akhirat meskipun belum datang kepada dia seorang pun pemberi peringatan, karena ashlut tauhid tergolong suatu yang terpatri dalam fitrah manusia dan telah tegak terhadapnya hujjah-hujjah Allah yang beraneka ragam dan untuknya semua rasul diutus serta karenanya semua kitab-kitab Allah diturunkan.

Sedangkan Al Isra’ ayat 15 sebagaimana yang dinukil Asy Syaukani dalam Fathul Qodir dari jumhur ulama’ adalah hanya tentang ‘adzab dunia bukan ‘adzab akhirat.

Dan ini dibuktikan oleh firmanNya Ta’ala langsung setelahnya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya, dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat Dosa hamba-hambanya “ (Al Isra: 16-17)

Jadi ia seperti firmanNya Ta’ala: “Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat kami kepada mereka dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota dalam keadaan melakukan kezholiman“ (Al Qashas: 59)

Dan yang menyusul masalah ini kritikan penulis (Syaikh Abdul Qodir) hal 543 terhadap penulis kitab Dlawabit Takfir dalam ucapannya bahwa sesungguhnya asal pada hujjah terhadap manusia dalam hal tauhid adalah fithrah dan mitsaq (perjanjian) yang telah diambil dari mereka…,adapun hujjah para rasul maka ia berkaitan dengan apa yang menggugurkan komitmen yang rinci terhadap syariat….

Padahal sesungguhnya ucapan ini adalah benar lagi tidak ada kesamaran di dalamnya bila dimaksudkan dengannya ashlut tauhid dan penjauhan syirik akbar, bukan rincian-rincian tauhid dan cabang-cabang yang tidak diketahui kecuali lewat jalur para rasul .

Sebagaimana mushannif mengkritik penulis Dlawabit Takfir pada ucapannya bahwa orang yang menohok tauhid maka ia itu di’azab di akhirat meskipun belum tegak atasnya hujjah risaliyyah karena telah tegak fitrah, mitsaq dan yang lainnya. Dan mushannif dalam membantah di sana berhujjah lagi dangan ayat 15 Al Isra’: “Dan kami tidak mungkin meng’adzab sehingga kami mengutus seorang rasul “, dan ia menuturkan ucapan Asy Syinqhithiy seputar ayat ini.

Sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ‘adzab di dalamnya adalah ‘adzab pemusnahan di dunia, dan ini adalah pendapat jumhur mufassirin dan bahwa nash-nash telah menetapkan bahwa di sana ada orang yang di‘adzab di akhirat karena matinya di atas syirik akbar dan kerena tidak merealisasikan tauhid yang mana ia adalah hak Allah atas hamba meskipun tidak datang kepadanya seorang Rasul khusus, karena sesungguhnya ini adalah hal inti yang dengannya diutus para rasul seluruhnya dan diturunkan kepadanya kitab-kitab seluruhnya serta sepakat dan mutawatir di atasnya ajaran rasul-rasul. Adapun ucapan Asy Syinqithiy maka sangatlah jelas dari penekanannya di dalamnya terhadap masalah akal dan penegakan dalil-dalil, bahwa beliau membantah terhadap Mu’tazillah dan ahli kalam lainnya yang mewajibkan pengenalan Allah dengan dalil-dalil akal sedangkan ini adalah masalah lain yang di luar bahasan kita.

Kemudian mushannif berbicara tentang hujjah risaliyyah dan ia menuturkan bahwa para rasul telah diutus dengan tauhid dan lainnya. Dan tidak ada seorangpun menyelisihi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjadikan hujjah risaliyyah sebagai bagian dari hujjah-hujjah terhadap hamba-hambaNya dalam hal tauhid dan yang lainnya agar terbukti baginya Ta’ala hujjah yang jelas lagi kuat. Dan di dalam hadits “ …..tiada satupun yang lebih mencintai udzur daripada Allah, oleh sebab itu Allah mengutus para Nabi seraya memberi kabar gembira dan peringatan“. Dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud secara marfu’, akan tetapi yang menjadi perselisihan apakah orang musyrik yang menggugurkan ashlut tauhid dan tidak diutus seorang rasul kepadanya di’udzur? dan bila di’udzur maka apa makna ‘udzur? Apakah maknanya bahwa ia tidak di’azab sehingga diuji di hari kiamat atau bahwa ia di’udzur dan masuk surga sedangkan telah sah dari nabi bahwa ia berkata sesungguhnya surga tidak dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim dan beliau berkata tentang sebagian orang yang belum datang seorang pun memberi peringatan kepada mereka: “…Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka”

Sedangkan pengambilan hujjah (hal 544) beliau (Syaikh Abdul Qodir) dengan firman-Nya Ta’ala: “Dan Allah telah mengeluarkankamu dari perut-perut ibumu ssedang kamu tidak mengetahui apa-apa“ (An Nahl: 78) adalah muthlaq yang dibatasi dengan hadits: “Tidak seorang pun terlahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah… “ (Al Bukhari dan Muslim)

Dan hadits “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hanif (bertauhid)…”

Ini adalah pada asal penciptan… dan tetaplah ayat itu di atas keumumanya dalam rincian-rincian syari’at.

Begitu juga (hal 545) mushannif menuturkan ayat-ayat yang di dalamnya ada pertanyaan para malaikat penjaga Jahannam kepada kepada orang-orang yang masuk ke dalamnya: “bukankah telah datang para rasul kepada kalian…” untuk berdalil dengannya bahwa tidak masuk neraka kecuali orang-orang yang telah didatangi rasul.

Dan ini adalah benar yang merupakan kondisi kebiasaan (mayoritas) bukan keseluruhan (umum), yang dibuktikan hal itu dengan firman Nya Ta’ala: “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan karena itu mereka lalai…“ (Yasin: 6) ditambah kesaksian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sebagian mereka bahwa mereka di neraka“ selesai ucapan Al Maqdisy. (pent.)

[4] Namun demikian Syaikh Abdul Qodir menjelaskan bahwa orang yang melakukan kemusyrikan dan kekafiran yang nyata di negeri kaum muslimin adalah tidak di’udzur walaupun mereka itu bodoh. Beliau berkata dibahasan Al Udzru Bil Jahli (Al Jami’ Juz 6): “Dan di sini kita bicara tentang realita yang terbatas, yaitu keadaan orang-orang yang mengaku muslim di mayoritas negeri kaum muslimin yang dihukumi undang-undang kaum kuffar (qawanin wadli’iyah) di jaman ini.

Negeri ini dari sisi hukum dianggap negeri kafir harbi, dan akan datang bahasan tentang status negeri di akhir mabhtas I’tiqod di bab ke 7, sebagaimana akan datang pembahasan pembicaran tentang masalah Al Hukmu Bighoiri Ma Anzalallah dan konsekuensi-konsekuensi yang di bangun di atas di mabhtas ke 8 di bab ke 7 insya Allah

Dan kami bila telah mengatakan bahwa orang diudzur karena sebab kebodohan di darul kufr, maka itu adalah negeri kafir asli yang mayoritas atau seluruh penduduknya adalah orang-orang kafir asli dimana orang yang masuk Islam dari kalangan mereka tidak mampu mengetahui sesuatu dari dien ini. Adapun darul kufri at thahari (negeri kafir yang asalnya muslim) seperti negara-negara yang diperintah dengan undang-undang buatan (qawanin wadli’iyyah), maka sudah maklum (diketahui) bahwa mayoritas penduduknya adalah muslim walaupun dalam hukum dhahir, oleh sebab itu anak pungut dihukumi muslim dalam keadaan negeri seperti ini, berbeda halnya dengan negeri kafir murni (asli) –dan akan datang bahasan ini di akhir mabhats i’tiqad yang telah diisyaratkan kepadaanya— dan oleh kerenanya si mukallaf memiliki kesempatan untuk belajar di negeri-negeri ini dengan bertanya atau berpergian dari satu kota ke kota yang lain atau dari suatu negeri ke negeri yang lain atau bertanya lewat telepon atau surat pos dan yang lainnya .

Walhasil: Bahwa ilmu itu sangat mudah didapatkan di negeri-negeri ini, dapat dicari dan mendapat kebenaran darinya, sehingga tidak diudzur seorang pun karena sebab kebodohan di negeri-negeri ini, kecuali dalam masalah-masalah agama yang samar yang hanya diketahui kalangan khusus dari ulama. Dan inilah apa yang ditunjukkan oleh pendapat seluruh ulama yang telah kami sebutkan pada masalah pertama yang lalu.

Dan di antara batasan yang bisa diqiyaskan kepadanya adalah kedaan orang-orang yang selamat dan yang binasa dari kalangan Arab sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh mereka itu beribadah dengan agama Ibrahim walaupun sudah kerasukan perubahan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pasal yang ke dua, dan sebagian mereka mendapatkan tauhid dan meninggalkan peribadatan berhala dengan usaha dan bertanya seperti Zaid Ibnu Amr Ibnu Naufal, sedang yang lain malah cenderung taqlid kepada apa yang dipegang kaumnya dan mereka itulah orang-orang yang dikabarkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka itu kafir lagi di’adzab.

Bila saja hujjah telah tegak dengan agama Ibrahim -padahal ia sudah kena perubahan- terhadap mereka itu, padahal sangat jarang sekali orang yang mengetahui al haq atau sebagian dari mereka, maka bagaimana manusia di’uzdur karena kejahilan di negeri-negeri ini bila mereka terjatuh dalam pembatal keIslaman sedangkan sarana-sarana belajar sangat mudah dan banyak sekali orang-orang yang menyerukan al haq dan orang-orang yang mengamalkannya?” selesai ucapan Syaikh Abdul Qodir.

Jadi beliau tidak mengudzur para pelaku syirik yang bodoh di negeri macam ini. (pent.)

[5] Orang yang murtad di negeri kafir harbi (seperti RI) dalah mumtani’ sebagaimana yang akan Syaikh jelaskan nanti karena ia berlindung di bawah undang-undang kafir dan juga kaum muslimin tidak bisa mengadilinya dan menerapkan had syar’i terhadapnya, sebab riddah dilindungi undang-undang dan negara kafir RI ini. (pent)

[6] Sehingga orang muslim bisa memvonis kekafiran akbar langsung meneliti dan menyelidiki mawani’ takfir padanya, kecuali bila mawani’ itu jelas nampak.

[7] Ingat ini tentang maqdur ‘alahi, adapun mumtani’ yang di antaranya orang melakukan kekafiran zhahir di negeri kafir harbi seperti RI, maka sudah lalu dijelaskan bahwa tidak wajib tabayyunul mawani’ (pent)

[8] Syaikh Abdul Qodir berkata di hadapan udzur jahil dan penilaian qodli terhadapnya: “Akan tetapi di negara-negara yang dihukumi dengan qawanin wadl’iyyah (seperti RI, pent) tidak ada tempat bagi peradilan syar’iy dan meskipun kadang didapatkan apa yang dinamakan dengan ahwal syakshiyyah (seperti masalah nikah, thalaq dan warisan di pengadilan agama di RI ini !!!, pent) akan tetapi undang-undang ini tidak menganggap kemurtadaan sebagai kejahatan dan ia tidak memberi sanksi bagi orang yang murtad. Dan atas dasar ini maka sesungguhnya faidah pembicaran dalam meteri ini adalah dalam mu’amalat syakhshiyyah (perlakuan-perlakuan yang bersifat pribadi) bagi kaum muslimin… Dan di antara mu’amalat ini adalah menjadi imam dalam shalat, nikah, thalaq, pengasuhan anak, perwalian atas jiwa dan harta, warisan, sembelihan, kesaksian dan hukum-hukum lainnya yang mana mengetahui status agama sangat mempengaruhi di dalamnya. Bila di sana ada mu’amalah antara muslim yang shaleh dalam agamanya dengan orang yang mengaku Islam yang melakukan hal-hal yang mengkafirkan yang jelas seperti meninggalkan shalat, menghina agama, syirik-syirik kuburan dan tempat yang dikeramatkan, maka sesungguhnya dia memperlakukan orang ini atas dasar dia itu kafir secara sebenarnya, meskipun dia tidak mengetahui bahwa ini adalah kekafiran, karena dia memiliki kesempatan untuk mengetahui hal itu, namun dia berpaling dari mempelajari agamanya. Dan kekafirannya semakin kuat bila telah dijelaskan kepadaanya bahwa ini adalah kekafiran walaupun orang yang memberi penjelasan kepadanya adalah orang yang awam yang tidak mencukupi syarat-syarat orang yang menegakkan hujjah risaliyyah, karena wajib atas orang yang melakukan kekafiran bila telah sampai kepadanya suatu berita untuk mencari kejelasan, sebab hal ini adalah wajib atas dia semenjak awal. Kemudian bila dia taubat dan mencabut diri dari kekafiran itu maka ia dihukumi muslim kembali dan bila dia bersikukuh di atas kekafiran itu, maka dia adalah kafir mu’anid (orang kafir yang membangkang). Dan perkatan ini menjadi konsekuensi rusaknya banyak pernikahan di negeri -negeri semacam ini dengan sebab kemurtadan dari salah seorang suami istri dan juga batalnya pembagian warisan serta konsekuensi-konsekuensi yang lain yang banyak manusia lalai darinya.

Memvonis kekafiran seseorang adalah suatu hal dan mendakwahinya kepada Islam adalah hal lain sebagaimana telah berlalu dalam penjelasan perbedaan antara penegakan hujjah dengan dakwah dimana ini adalah wajib dan ini kewajiban lain lagi, maka wajib untuk terus mendakwahi mereka itu untuk mengembalikannya ke lingkaran Islam“

dowabit takfir (1)

Dalam masalah ini akan kami tuturkan empat sub bahasan yaitu posisi bahasan masalah takfier, definisi riddah, kaidah takfier serta kekeliruan-kekeliruan yang umum dalam masalah ini.

Sub Bahasan Pertama

Posisi Bahasan Materi Takfier

Perkatan kami dalam takfier di sini akan terbatas pada orang yang sebelumnya telah tetap sebagai orang yang berstatus hukum sebagai muslim, baik dia itu masuk Islam dengan sendirinya ataupun dilahirkan di atas fithrah karena dua orang tua yang muslim, bukan orang kafir yang asli, meskipun kekafiran itu adalah kekafiran dengan tanpa melihat orang yang terperosok didalamnya, akan tetapi pembicaran mengenai kafir asli adalah tidak ada kesulitan di dalamnya dan tempatnya adalah bab Al Jihad.

Maka kami katakan bahwa sesunggguhnya materi takfier (yaitu memvonis kafir seseorang yaitu yang dikenal dengan nama takfier mu’ayyan) adalah memiliki dua sisi pembahasan, keduanya ada di dalam berbagai kitab-kitab ilmu, yaitu:

1. Sisi i’tiqod (keyakinan): yang berkaitan dengan hakikat kekafiran dan macam-macamnya sedangkan tempat pembahasannya adalah bab-bab al iman dan pembatal-pembatalnya dalam buku ‘aqidah.

2. Dan sisi qodloiy (peradilan): Ini membahas dua hal:

Pertama: Hal yang mengkafirkan –yaitu asbaabul kufri– dan sanksi orang kafir. Dan tempat bahasan masalah ini adalah bab-bab riddah dan murtad dalam kitab fiqh.

Ke dua: Pembuktian terjadinya hal yang mengakfirkan –yaitu sebab kekafiran- dari orang tertentu dan memandangnya pada kekosongannya dari penghalang-penghalang hukum yang dianggap secara syariat dan itu untuk memvonisnya dengan kekafiran atau untuk membebaskannya. Tempat pembahasan masalah ini adalah bab-bab qadla (peradilan), dakwaan dan bukti-bukti dalam kitab fiqh.

Sedangkan maksud di sini adalah mengingatkan bahwa tidak boleh memfatwakan dalam masalah takfier mu’ayyan dengan hanya melihat pada kitab-kitab ‘aqidah tanpa melihat pada proses peradilan yang berkaitan dengan hal itu. Dan akan datang sesuatu dari rincian dalam hal itu saat berbicara tentang kaidah takfier.

Sub Bahasan Ke dua

Definisi Riddah

Riddah adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran atau pemutusan keIslaman dengan kekafiran. Allah Ta’ala berfirman:

“… barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah: 217)

Sedang murtad adalah orang yang kafir setelah keIslamannya dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan.

Definisi-definisi madzhab yang empat dan selain yang empat tentang riddah dan murtad semuanya berkisar seputar makna ini. Itu dikarenakan kekafiran itu bisa terjadi dengan amalan lisan (yaitu ucapan) atau dengan amalan anggota badaan (yaitu perbuatan) atau dengan amalan hati (yaitu dengan keyakinan atau keraguan). (Lihat Kasysyaful Qina’ karya Syaikh Manshur Al Bahutiy juz 6 hal. 167-168)

Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafii’y berkata dalam Kifayatul Ahkyar: “Riddah menurut syari’at adalah kembali dari Islam kepada kekafiran dan memutus keIslaman sedang ia bisa terjadi kadang dengan ucapan dan kadang dengan perbuatan dan kadang dengan keyakinan. Dan masing-masing dari ketiga macam ini di dalamnya banyak masalah yang tidak terhitung.” (Kifayatul Ahkyar 2/123)

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq An Najdiy rahimahullah (wafat 1301) berkata: “Sesunggguhnya ulama sunnah dan hadits berkata “Sesungguhnya orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keIslamannya baik berupa ucapan, perbuatan maupun keyakinan.. Mereka menetapkan bahwa orang yang mengucapkan kekafiran adalah kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengamalkannya bila dipaksa. Begitu juga bila ia melakukan kekafiran, maka ia kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengucapkannya. Begitu juga bila ia melapangkan dadaanya dengan kekafiran yaitu dia membukanya dan meluaskanya (maka ia kafir), walaupun ia tidak mengucapkan hal itu dan tidak mengamalkannya. Ini adalah sesuatu yang maklum secara pasti dari kitab-kitab mereka dan orang ynag memiliki kesibukan dalam ilmu, maka mesti telah mencapai sebagaian dari hal itu“ (Ad Difa’ An Ahlis Sunnah Wal I’ttiba’ karya Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq terbitan Darul Qur-anil Karim 1400 H hal: 30)

Sebagaian ulama membatasi dengan tiga sebab kekafiran (ucapan, perbuatan atau keyakinan) dan sebagian dari mereka menambahkan: [atau keraguan] dan itu demi membedakan keraguan dari keyakinan, padahal sesungguhnya keduanya termasuk amalan hati, akan tetapi keyakinan adalah suatu yang terikat lagi menetap, adapun keraguan maka ia adalah sesuatu yang tidak terikat dan tidak menetap dikarenakan ia dan kebalikannya adalah seimbang. Barangsiapa yang bersarang dalam hatinya kedustaan Rasul maka ini kufur i’tiqod (keyakinan) dan barangsiapa yang ragu akan kebenaran Rasul dan bagi dia Rasul itu bisa jadi berdusta, maka ini adalah kufur keraguan (syak) Allah Ta’ala berfirman:

ó”Dan di hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya” (At Taubah: 45)

Di sini ada peringatan penting: yaitu yang telah lalu itu adalah definisi riddah secara hakikat sebenarnya. Adapun dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai zhahir, maka tidak divonis murtad, kecuali dengan sebab ucapan mukaffir (yang mengkafirkan) atau perbuatan mukaffir, karena perbuatan dan perkatan keduanya adalah apa yang nampak dari manusia, adapun keyakinan dan keraguan yang mana tempatnya adalah hati maka tidak ada sanksi dengan sebab keduanya di dunia selagi keduanya tidak nampak pada ucapan atau perbuatan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dalam hadits shahih “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk mengorek hati manusia” dan di dalam Ash Shahih juga bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah: ”Apakah kamu membelah hatinya“

Barang siapa kafir dengan hatinya (dengan keyakinan atau keraguan) dan dia tidak menampakkannya dalam ucapan atau perbuatan maka ia muslim dalam hukum dunia akan tetapi ia kafir pada hakikat sebenarnya di sisi Allah dan dia adalah orang munafiq dengan nifaq akbar yang menutupi dirinya dengan kekafirannya.

Ibnul Qoyyim berkata: ”Dan beliau tidak memberlakukan hukum-hukum itu terhadap sekedar apa yang ada di dalam jiwa tanpa ada indikasi perbuatan atau ucapan” (I’lamul Muwaqqiin, 3/117)

Dalam hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir dan dalam hal ini, berkata Al Imam Ath Thahawiy rahimahullah dalam I’tiqadnya –tentang ahli kiblat- “Dan kami tidak memvonis mereka kafir, musyrik dan munafiq selama tidak nampak dari mereka sesuatu dari hal itu dan kami serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah Ta’ala“ Pensyarah berkata: “Karena kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan zhahir dan kita dilarang dari praduga dan dari mengikuti apa yang tidak diketahui ilmunya“ (Syarhul ‘Aqidah At Thahawiyyah hal 427 terbitan Al Maktabah Al Islamiy 1403)

Kesimpulan: bahwa vonis murtad di dunia tidak terjadi kecuali dengan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Orang yang murtad adalah setiap orang yang mendatangkan setelah keIslamannya sesuatu yang menggugurkan keIslamannya berupa ucapan dan perkatan, dimana ia tidak bisa bersatu kumpul bersama” (Ash Sharimul Maslul: 459)

Dan berkata juga: ”Dan secara umum barang siapa yang mengucapkan atau melakukan yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir, kerena tidak seorangpun bermaksud kafir, kecuali apa yang telah Allah kehendaki” (Ash Sharimul Maslul 177-178)

Perhatian akan kemungkinan riddah dan cepatnya itu terjadi:

Sekarang banyak orang-orang berlebihan dalam menghati-hatikan dalam pengkafiran manusia, meskipun mereka telah melakukan apa yang mereka lakukan dan mereka mengatakan bahwa ini adalah madzhab Khawarij bahkan mereka berpendapat akan peniadaan kemungkinan terjadinya riddah dan bahwa orang muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadat tidak mungkin kafir selamanya dan sebagian mereka berdalil dengan ungkapan “Kami tidak mengkafirkan seorang muslimpun dengan sebab dosa”.

Ini termasuk dalam kebodohan terhadap agama Islam. Sesungguhnya Khawarij, mereka itu mengkafirkan dengan sebab dosa yang tidak mukaffirah sedangkan Ahlus Sunnah maka sesungguhnya mereka mengkafirkan dengan sebab dosa-dosa mukaffirah. Adapun ungkapan “Kami tidak mengkafirkan seorang muslimpun dengan sebab dosa“ maka telah lalu penjelasan maknanya dalam komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah.

Sungguh telah murtad sejumlah manusia pada masa hidup Nabi sw dan setelah beliau wafat murtadlah mayoritas orang yang telah masuk Islam dari kalangan bangsa Arab kecuali penduduk Makkah, Madinah dan Bahrain dan mereka pun diperangi akibat kemurtadannya oleh Abu Bakar dan para sahabat.

Allah Ta’ala berfirman:

“Tak usah kamu meminta maf, krena kamu kafir sesudah beriman…“ (At Taubah: 66)

Dan firman-Nya:

“…Sesunguhnya mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran dan telah menjadi sesudah Islam… “ (At Taubah: 74)

Orang-orang yang mana ayat-ayat tadi turun berkenaan dengan mereka adalah telah kafir dengan sebab-sebab ucapan-ucapan yang mereka ucapkan pada masa Nabi saw.

Nabi saw bersabda: “Bersegeralah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan malam yang gelap, orang di pagi hari mu’min dan di sore hari ia kafir, atau disore hari dia mu’min dan di pagi dia kafir, dia menjual agamanya dengan materi dunia.“ (HR Muslim).

Seseorang bisa kafir dengan satu kalimat yang ia lontarkan walaupun ia bersenda gurau (bercanda main-main) oleh sebab itu pensyarah Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah berkata: ”Dienul Islam adalah apa yang disyariatkan Allah ta’ala untuk hamba-hambaNya lewat lisan para Rasul-Nya. Inti dan cabang-cabang dien ini, periwayatannya adalah dari para rasul dan ia sangat jelas sekali, mungkin bagi setiap mumayyiz ~baik kecil maupun besar, orang fashih maupun non arab, pandai maupun bodoh~ untuk masuk di dalamnya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan sesungguhnya keluar darinya juga bisa lebih cepat dari itu“ (Syarhul Aqidah Ath Thahawiyyah, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1403 H hal: 585)

Perhatikan ucapannya “Dan sesungguhnya keluar darinya (juga) bisa lebih cepat dari itu“. Oleh sebab itu para ulama menuturkan riddah dalam pembatal–pembatal wudhu, adzan, shalat, shaum dan yang lainnya, yaitu bahwa orang bisa jadi wudhu untuk shalat terus ia melakukan sesuatau yang mengkafirkan –baik ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan– sehingga murtad, kemudian bila ia taubat maka wajib atasnya memperbaharui wudhu yang telah rusak dengan riddah maka perhatikanlah cepatnya riddah, tentu engkau mengetahui kerusakan pendapat orang-orang yang menganggap riddah sebagai bagian hal-hal yang sangat jauh terjadi atau mustahil.

Di antara hal ini adalah ucapan Ibnu Qudamah rahimahullah “Sesunguhnya riddah adalah membatalkan wudhu dan membatalkan tayammum dan ini adalah pendapat Al Auza’iy dan Abu Tsaur. Dan ia (riddah) adalah mendatangkan sesuatu yang dengan sebabnya ia keluar dari Islam, baik itu ucapan ataupun keyakinan atau pun keraguan yang memindahkan dari Islam, kemudian kapan saja ia kembali kepada keIslamannya dengan rujuk kepada dienul haq maka ia tidak boleh shalat sampai ia berwudhu, meskipun ia telah berwudhu sebelum ia murtad”. (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Khabir juz 1/168)

Ibnu Qudamah juga berkata: “(riddah)itu membatalkan adzan bila ia ada di tengah adzan“. (ibidem 1/438)

Dan berkata juga: “Kami tidak mengetahui perbedaan di antara ahli ilmu bahwa orang yang murtad dari Islam di tengah shaum sesungguhnya shaumnya rusak dan ia wajib mengqadha’ hari itu bila ia kembali Islam di tengah hari itu ataupun hari itu sudah habis“. (ibid. 3/52)

Ibnu Qudamah juga berkata: “Bila isterinya berkata: “Cerailah saya dengan satu dinar, maka ia mencerainya terus si wanita murtad, maka ia wajib membayar satu dinar itu maka cerainya menjadi ba’in dan kemurtadannya tidak berpengaruh, karena riddah ada setelah ba’inunah. Dan bila ia mencerainya setelah kemurtadaan si wanita dan sebelum dukhul (berhubungan badaan) si suami dengannya, maka dia menjadi ba’in (tidak ada rujuk) dengan sebab riddah dan cerai pun tidak terjadi, karena ia mengenai si wanita yang sudah ba’in“ (ibid. 8/186).

Abul Qoshim Al Khorqiy berkata: “Andai ia menikahinya dalam keadaan keduanya muslim terus si wanita murtad sebelum dukhul, maka pernikahan lepas begitu saja dan dia tidak berhak atas mahar. Dan bila yang murtad adalah si laki-laki sebelumnya dan sesudah dukhul maka begitu juga, akan tetapi si laki-laki wajib bayar separuh mahar“ dan berkata juga: “Bila riddah wanita setelah dukhul, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dan bila ia tidak masuk Islam sampai ‘iddahnya habis maka pernikahannya lepas begitu saja. Andai si laki-laki murtad terus ia tidak kembali kepada Islam sampai ‘iddahnya maka nikahnya lepas semenjak dua agama berlainan“ (ibid. 9/584-565).

Ini adalah sedikit dari hal yang banyak dan ia menjelaskan kemungkinan terjadinya riddah dan bahkan sangat cepatnya ia terjadi, berbeda dengan apa yang diklaim sebagian orang. Sampai-sampai orang yang berwudhu bisa murtad antara wudhu dengan shalatnya dan orang yang adzan bisa murtad saat ia menyerukan shalat dengan lafazh mukaffir yang ia ucapkan atau dengan keyakinan mukaffir yang diyakini hatinya atau mukaffirat lainnya. Perhatikanlah hal ini, tentu engkau mengetahui kejahilan yang memalukan yang ada pada banyak orang-orang masa sekarang.

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy berkata: “Sampai–sampai sesungguhnya banyak ulama di abad-abad ini sangat mengingkari terhadap orang yang mengingkari syirik akbar sehingga jadilah mereka itu dan para sahabat radliallahu’anhum berada di atas dua tepi yang bertentangan, dimana para sahabat sangat mengingkari suatu hal yang sedikit dari kemusyrikan, sedangkan para ulama itu justeru malah mengingkari terhadap orang yang mengingkari syirik akbar dan mereka menjadikan pelarangan dari syirik ini adalah bi’ah dan kesesatan.

Dan begitulah keadaan umat-umat bersama para rasul dan nabi seluruhnya dalam apa yang dengannya mereka diutus, berupa tauhidullah Ta’ala, ikhlash beribadah kepada-Nya saja dan larangan dari penyekutuan denganNya” .

Beliau juga berkata: ”Banyak para pengklaim (dirinya) berilmu tidak mengetahui “Laa ilaaha illallaah“ sehingga mereka menghukumi setiap orang yang mengucapkannya sebagai seorang muslim walaupun dia itu terang-terangan dengan kekafiran yang nyata, seperti peribadatan kepada kuburan, mayit dan berhala, pengahalalan hal yang haram yang diketahui pengharamannya secara pasti oleh agama ini, pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan serta mejadikan alim ulama dan para ahli ibadah sebagai arbab selain Allah“ (Dari catatan kaki hal 128 dan 221 dari kitab Fathul Majid Syarhi Kitab At Tauhid terbitan Darul Fikr 1399H).

Sub Bahasan Ke Tiga

Kaidah Takfier

Yang dimaksud di sini adalah takfir mu’ayyan dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan istilah “kaidah takfier“ dalam banyak tempat di Majmu Al Fatawa. Saya telah berupaya sejak lama untuk mendapatkan suatu teks bagi kaidah ini di dalam karya-karya Syaikhul Islam yang beraneka ragam, namun sampai sekarang saya tidak mendapatkannya padahal sangat banyak dilakukan penelusuran. Dan saya mengiranya memaksudkan dengan hal itu apa yang telah baku di kalangan para ulama berupa memperhatikan dlawabit takfier (batasan-batasan takfier) dari sisi proses peradilan yang sudah dikenal dan bisa jadi -karena sebab itu– tidak ada kebutuhan untuk membukukannya pada masa mereka karena mereka menjalankan peradilan syar’iy saat itu.

Paling tidak yang disebutkan oleh Syaikhul Islam –dan beliau ulang-ulang dalam banyak tempat– adalah takfier mu’ayyan itu tergantung pada keterpenuhan syarat-syarat dan ketiakadaan penghalang-penghalang (takfier) pada si mu’ayyan itu. Sebagai contoh silahkan lihat (Majmu’ Al Fatawa 12/484, 487, 489, dan 498)

Adapun hari ini beserta terputusnya peradilan syar’iy dan lenyapnya hal itu dari mayoritas negeri beserta berkurangnya ilmu serta munculnya kebodohan maka sesungguhnya kebutuhan sangat menuntut untuk pembukuan kaidah semacam ini. Oleh sebab itu, maka saya telah menetapkan teks bagi kaidah takfier mu’ayyan seraya saya berharap ia memenuhi apa yang dimaksud dan ia adalah sebagai berikut:

Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir, orang tertentu dihukumi kafir dengan sebab ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir, yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’iy. Bila syarat-syarat hukum terpenuhi dan penghalang-penghalang tidak ada pada dirinya, dan memvonis terhadapnya orang yang layak untuk menghukumi, kemudian dilihat; Bila orang itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam, maka ia disuruh bertaubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya oleh pihak penguasa. Dan bila dia itu mumtani’ dengan kekuatan atau dengan darul harbi, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa proses istitabah, dan dalam hal ini melihat kepada mashlahat dan mafsadat yang ditimbulkan oleh hal itu. Bila berbenturan mashlahat dan mafsadat, maka didahulukan yang paling kuat dari keduanya. Selesai.

Saya paparkan kaidah di atas dengan penjelasan yang ringkas, saya katakan dengan memohon taufiq Allah ta’ala:

1. Ucapan saya: “Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir” adalah pembuka dan pendahuluan bagi ucapan saya: “dengan sebab ucapan atau perbuatan”, karena sesungguhnya keduanya adalah sesuatu yang nampak dari manusia dan dengannya ia diberi sanksi di dunia. Adapun kekafiran yang ada berdiri di hati (berupa keyakinan mukaffir atau keraguan pada rukun-rukun iman dan cabang-cabangnya), maka hal ini si pelakunya tidak dikenakan sanksi dengan sebabnya di dunia, namun urusannya diserahkan kepada Allah (di hari saat segala rahasia ditampakkan), sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin mengampuni orang yang mati dalam kondisi kafir. Saya telah menjelaskan hal itu dalam peringatan penting yang dituturkan setelah definisi riddah.

2. Ucapan saya: “Dengan sebab ucapan atau perbuatan“ dan inilah sebab vonis kafir ~dalam hukum-hukum dunia~ hanyalah ucapan atau perbuatan. Adapun ucapan maka (contohnya) seperti menghinakan Allah Ta’ala atau menghina Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam atau menghina agama ini. Adapun perbuatan (contohnya) seperti melempar mushhaf ke dalam kotoran dan masuk (pula) dalam perbuatan adalah meninggalkan dan menolak dari melakukan apa yang diperintahkan seperti meninggalkan shalat dan meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan, karena sesungguhnya meninggalkan apa yang diperintahkan dinamakan sebagai perbuatan sesuai pengkajian berdasarkan firman Allah ta’ala:

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.” (Al Maidah: 79).

Allah menamakan sikap mereka tidak saling melarang dari hal munkar sebagai perbuatan. Dan di dalamnya ada dalil-dalil lain yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqhitiy dalam Mudzakkirah Ushulil Fiqh, terbitan maktabah Ibnu Taimiyyah 1409 H hal: 46 dan begitu juga Ibnu Hajar berkata: “Meninggalkan itu adalah perbuatan sesuai dengan pendapat yang shahih” (Fathul Bariy 12/315)

3. Ucapan saya: “Mukaffir” adalah sifat bagi ucapan dan perbuatan”. Sifat kekafiran ini terrealisasi dengan dua syarat:

A. Syarat pertama: Terbuktinya dengan dalil syar’iy kekafiran orang yang mendatangkan ucapan atau perbuatan ini, dan ini adalah yang dinamakan takfier muthlaq tanpa menerapkan hukum kafir terhadap orang tertentu. Jadi takfier muthlaq adalah menerapkan vonis kafir terhadap sebab bukan terhadap orang si pelaku sebab itu.

Disyaratkan pada dalil syar’iy itu adalah qath’iy dilalahnya (pasti indikasinya) terhadap kufur akbar. Karena di sana ada bentuk-bentuk ungkapan yang penunjukan terhadap kekafirannya masih muhtamal (ada kemungkinan lain) bisa berarti kufur akbar dan bisa berarti berupa kufur asghar dan kefasikan. Sedangkan penentuan apa yang dimaksud dari nash yang muhtamal dilalah-nya adalah terjadi dengan qarinah-qarinah dari dalam nash itu atau dari nash-nash lainnya . Contoh hal itu: Apa yang diriwayatkan Al Bukhoriy dalam kitab Iman dari Shahihnya pada Bab Kufranul ‘Asyir dan Kufrun Duna Kufrin dan di dalamnya diriyawatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

“Saya diperlihatkan neraka, ternyata mayoritas penghuninya wanita, mereka kafir (ingkar), dikatakan: “Apa mereka ingkar kepada Allah?” Beliau berkata “Mereka ingkar kepada suami dan ingkar kepada kebaikan“ (Hadits no: 29)

Beliau meriwayatkan dalam Kitabul Haidli dari Abu Sa’id bahwa Nabi melewati para wanita, beliau berkata: “Wahai sekalian wanita bershadaqahlah, karena saya diperlihatkan kalian adalah mayoritas penghuni neraka. “Maka bertanyalah mereka: ”Apa sebabnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Kalian banyak melaknat dan ingkar kepada suami“ (Hadits no. 304)

Di dalam hadits ini beliau shalallahu ’alaihi wa salam mensifati sikap wanita tidak menunaikan hak suaminya (‘asyir) dan sikapnya yang tidak berterima kasih kepada kebaikan suaminya sebagai kekafiran. Sedangkan qarinah-qarinah telah menunjukkan bahwa yang dimaksud denganya adalah kufur ashghar bukan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama, dan qarinah-qarinahnya adalah bahwa beliau shalallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan mereka bersedekah untuk menebus maksiat-maksiat ini, sedang sedekah itu hanyalah bermanfaat bagi orang mu’min berdasarkan sabdanya saw: “Shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air mematikan api“ (HR At Tirmidzi dan berkata: hadits hasan shahih). Shadaqah tidak diterima dari orang yang kafir dan tidak bisa menutupi kesalahan-kesalahannya berdasarkan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya Alloh Tidak akan mengampuni dosa penyekutuan terhadapNya“, maka ini menunjukkan bahwa mereka itu wanita-wanita mu’minah bersama pensifatan maksiat mereka dengan kekafiran dan ini adalah sifat kufur asghar.

Contoh hal itu juga adalah sabda beliau saw: ”Menghina orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran“ Dan sabdanya saw: “Janganlah kalian kembali kafir setelahku, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain” (Kedua hadist itu diriwayatkan Al-Bukhari).

Beliau menamakan pembunuhan muslim terhadap muslim sebagai kekafiran, dan begitu juga sikap saling memeranginya, sedang nah-nash telah menunjukkan bahwa pembunuhan sengaja itu tidak kafir berdasarkan firman-Nya Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Al-Baqoroh: 178)

Dimana Allah menetapkan ukhuwwah imaniyyah (persaudaraan keimanan) antara si pembunuh dengan wali orang yang terbunuh, dan begitu juga dalam hal saling berperang sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)

Allah menamakan mereka mu’min bersama sikap saling berperang, dan ini menunjukkan bahwa kufur di dalam hadits-hadits yang lalu tidak lenyap bersama keimanan, sehingga ia adalah kufur ashghar atau kufrun duna kufrin.

Yang yang dimaksud disini adalah pengisyaratan bukan perincian, karena saya sudah merinci semua masalah-masalah ini dalam kitab saya (Al-Hujjah Fie Ahkamil Millah Al Islamiyyah).

Di antara bentuk-bentuk ungkapan yang dilalah-nya muhtamal yang ada kemungkinan kufur akbar dan yang dibawahnya adalah:

· Kufur dengan bentuk fi’il madli (فقد كفر) atau fi’il mudlari (يكفر)

· Kufur dengan bentuk isim nakiroh, baik mufrod (كافر) maupun jamak (كفار)

· Bentuk penafian iman (لايؤمن/tidak beriman)

· Bentuk (ليس منا/bukan tergolong dari kami)

· Bentuk “maka ia di neraka”

· Bentuk “Allah haramkan terhadapnya surga”

· Bentuk “telah lepas darinya jaminan, atau telah berlepas darinya Allah dan Rasul-Nya shalallahu ’alaihi wa sallam “

Dan yang lainnya.

Contoh-contoh untuk ini semuanya beserta penjelasan dilalah-nya disebutkan dalam kitab saya (Al-Hujjah Fie Ahkamil Millah Al Islamiyyah), dan Al Imam Abu Ubaid Al Khosim ibnu Salam telah menuturkan sejumlah dari bentuk-bentuk ungkapan yang ihtimal dilalah-nya ini dalam kitabnya (Al Iman).

Adapun dalil-dalil syar’i yang qath’iy dilalahnya terhadap kufur akbar maka contohnya adalah firman Allah Ta’ala:

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: sesungguhnya kami hanylah bersendagurau dan bermain-main saja, katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir setelah beriman” (At-Taubah: 65-66)

Allah menegaskan terhadap kekafiran mereka setelah beriman, sedangkan ini adalah kufur akbar.

Dan contoh firman Allah Ta’ala:

“Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri: Ia berkata: aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna.” (Al-Kahfi: 35-37).

Allah menegaskan bahwa ia kafir kepada Allah, dan ia adalah kufur akbar.

Dan contohnya adalah firman-Nya tentang orang yang menyeru selain Allah dalam apa yang tidak mampu terhadapnya selain Allah:

“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa, walaupun setipis kulit ari.Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar suaramu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu” (Fathir: 13-14).

Dan firman-Nya Ta’ala:

“Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir, hanyalah sia-sia belaka” (Ar Ro’du: 14).

Dan sebagai kaidah umum:

Sesungguhnya setiap كفر yang datang dengan bentuk isim ma’rifat dengan alif dan lam (ال) dalam Al Kitab dan As Sunnah maka ia adalah kufur akbar, seperti lafadz (الكوافر- الكافرن- الكفار- الكافر- الكفر), karena alif dan lam menunjukkan pencakupan isim pada kesempurnaan makna. Dan ini tidak ada perselisihan makna terhadapnya diantara ahli ilmu dan ahli bahasa.

· Dan setiap كفر yang ada dalam Al-Qur’an, maka ia adalah kufur akbar, baik itu datang dengan bentuk isim atau fi’il (kata kerja) atau masdar (kata dasar), karena lafazh-lafazh Al-Qur’an adalah paten (baku), sedangkan telah terbukti hal ini dengan istiqra (penelusuran) satuan-satuan lafazh Al-Qur’an termasuk kufur yang ada dalam konteks kufur nikmat, ia adalah kufur akbar sebagaimana dalam Surat Ibrahim: 28 dan An-Nahl: 112. Dan termasuk apa yang nampak bahwa dimaksud dengan kufur lughowi (secara bahasa) nama yang dimaksud dengan tafsirnya adalah kufur akbar syar’i sebagaimana dalam Surat Al-Hadid: 20.

· Setelah itu tinggallah lafazh-lafazh kufur yang ada dalam As unnah, dimana apa yang datang darinya dengan bentuk isim ma’rifat dengan (ال) maka ia adalah kufur akbar sebagaimana dalam hadist: “antara seorang dengan al kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim).

Adapun bila ia dengan selain bentuk ini, maka hukum asal di dalamnya adalah membawanya kepada kufur akbar sampai tegak qorinah yang memalingkannya kepada kufur asghor. Dan dalilnya adalah hadist kufranul ‘asyir (ingkar kepada suami) yang lalu. Coba perhatikan tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam -tentang para wanita- (mereka kafir) maka para sahabat berkata: Apakah mereka kafir (ingkar) kepada Allah? Maka ini menunjukkan bahwa kufur bila diutarakan begitu saja maka maknanya langsung mengarah kepada kufur akbar sampai ada qarinah yang memalingkannya kepada asghor sebagaimana dalam contoh-contoh yang lalu.

Syaikh Abdullatif ibnu Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Syaikhul Islam Muhammad ibnu Abdul Wahhab berkata: “Dan lafadzh الفوجور-المعصية-الظلم الشرك-الركون-العاداة-الوالاة-الفوو- dan lafadz-lafadz lainnya yang ada di dalam Al-Kitab dan Assunnah kadang dimaksudkan dengannya maknanya yang mutlak dan hakikatnya yang mutlak, dan kadaang dimaksudkan dengannya muthlaqul haqiqoh (sekedar memiliki makna), sedangkan yang pertama adalah hukum asal menurut para ahli usul, dan yang kedua tidaklah digunakan kecuali dengan qorinah lafdhiyyah atau maknawiyyah, namun itu bisa diketahi dengan penjelasan yang berasal dari nabi dan penafsiran sunnah. Allah ta’ala berfirman: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya untuk memberikan penjelasan kepada mereka” (Ibrahim: 4). Selesai (Ar Rosa-il Al Mufidah, Syaikh Abdullatif, kumpulan (Syaikh) Sulaiman ibnu Sahman, hal: 21-22)

Disini ada peringatan penting: Sesungguhnya tidak disyaratkan untuk menghukumi terhadap sesuatu bahwa ia adalah mukaffir (mengkafirkan) datangnya nash tertentu yang menunjukkan bahwa sesuatu itu mukaffir (hal yang mengkafirkan).

Syaikh Hamd ibnu Nashir ibnu Ma’mar rahimahullah 1225 H, sedang baliau adalah tergolong imam dakwah Najdiyyah dan termasuk murid Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab rahimahullah, berkata: “Dan juga sesungguhnya banyak dari masalah-masalah yang dituturkan para ulama dalam masalah-masalah kufur dan riddah serta terjalin ijma’ terhadapnya adalah tidak datang berkenaan dengannya nash-nash yang tegas yang menamakannya sebagai kekafiran, akan tetapi para ulama menyimpulkan dari keumumman kandungan nash-nash, seperti bila orang muslim menyembelih sembelihan sebagai taqorub (mendekatkan diri) dengannya kepada selain Allah maka sesungguhnya itu adalah kekafiran berdasarkan ijma, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh An Nawawi dan yang lainnya, dan begitu juga seandainya ia bersujud selain kepada Allah” (Ad Duror As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 9/9).

Saya berkata: “Dan diantara dalil yang paling jelas terhadap apa yang dikatakan Syaikh Hamd ibnu Ma’mar adalah kafirnya orang yang mengatakan: ”Al Qur’an makhluk”, dan ini tergolong hal yang paling terkenal dalam kitab-kitab salaf dimana mereka mengatakan: “Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk dan barangsiapa mengatakan bahwa ia adalah makhluk maka dia kafir.”

Lihat kitab As Sunnah, karya Abdullah ibnu Ahmad, As Sunnah karya Al Khallal, kitab Al Lalikaiy, kitab Al ‘Uluw karya Adz Dzahabiy dan kitab lainnya yang sangat banyak.

Padahal tidak ada satu nash pun dalam Al Kitab atau As Sunnah yang menegaskan bahwa barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk maka ia kafir, seperti didapatkannya nash yang menyatakan bahwa barangsiapa meninggalkan shalat maka ia kafir. Sebagaimana tidak didapatkan atsar dari sahabat tentang masalah kholqul Qur’an, akan tetapi para ulama menyimpulkan vonis kekafirannya dari sisi bahwa nushush telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan ilmu-Nya, sedangkan kalam (firman) dan ilmu-Nya adalah termasuk sifat Allah Jalla sya-nuh, dan sifat-Nya bukanlah makhkluk, dan barangsiapa mengingkari hal itu serta malah mengatakan bahwa ini adalah makhluk maka ia telah kafir. Sampai akhirnya hukum masalah ini adalah tempat yang diijmakan Ahlus Sunnah.

Diantara yang membuktikan di hadapanmu kesamaran tentang hukum masalah ini adalah apa yang diriwayatkan Adz Dzahabiy dari Al Qodli Abu Yusuf, ia berkata: “Saya mengajak diskusi Abu Hanifah selama enam bulan, maka sepakatlah pendapat kami bahwa orang yang mengatakan –“Al Qur’an makhluk”- adalah kafir” selesai. (Mukhtasor Al ‘Uluw Lil A’liyyil Ghoffaar, Adz Dzahabiy, terbitan Al Maktab al Islamiy 1401 H, hal 155).

Keduanya berdiskusi selama itu dikarenakan dalam masalah ini tidak ada satu nash sharih (tegas) pun dari Al Kitab dan As Sunnah serta tidak penukilan dari sahabat di dalamnya dan ini semua termasuk yang menjelaskan bahwa tidak disyaratkan dalam dalil syar’i yang mengkafirkan itu ia berbentuk nash yang tegas dalam masalah ini secara langsung, akan tetapi boleh saja hukumnya itu diistinbath dari nash-nash yang ada.

Dalam masalah ini –yaitu terbuktinya sifat kufur bagi ucapan dan perbuatan dengan dalil yang qath’iy– masuklah perselisihan berbagai firqoh:

Khawarij mengkafirkan dengan sebab sesuatu yang bukan kekafiran, seperti dosa-dosa besar yang tidak mengkafirkan, sedangkan Murji’ah, mereka tidak mengkafirkan dengan sebab apapun dari amanat (ucapan dan perbuatan) akan tetapi mereka sejalan dengan Ahlus Sunnah dalam memvonis kafir orang yang mendatangkan amal mukafir, bukan dengan sebab amal itu sendiri tapi dikarenakan sesungguhnya amal yang ditegaskan dalil terhadap kekafiran pelakunya adalah ciri (tanda) yang menunjukkan bahwa ia itu kafir dengan hatinya, sehinga mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah dalam hal vonis dan mereka berbeda dengan Ahlus Sunnah dalam tafsirnya. Murji’ah yang saya maksudkan dalam ucapan saya yang lalu adalah Asya’irah dan Murji’ah Fuqaha.

Adapun Ghulatul Murji’ah yang jauh tersesat, maka mereka tidak mengkafirkan dengan dalil yang syar’i yang qath’iy dilalah-nya terhadap kufur akbar dan mereka mensyaratkan untuk takfir orang yang melakukan amal mukaffir sikap terang-terangan dengan takdzib dan juhud atau istihlal. Inilah yang terkenal luas pada banyak du’at masa kini. Saya sudah menuturkan kepada anda bahwa salaf telah mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini.

Ini adalah yang berkaitan dengan syarat pertama yaitu keberadaan dalil syar’i itu tegas dilalahnya terhadap kufur akbar.

B. Syarat ke dua: Keberadaan ucapan atau perbuatan itu tegas (sharih) dilalah-nya terhadap kekafiran yaitu bahwa ia berisi manath (alasan) yang mengkafirkan yang ada dalam nash syar’i yang dijadikan dalil terhadap takfir.

Contohnya orang yang mengatakan: “Wahai tuanku Al Badawiy, tolonglah saya atau penuhilah kebutuhan saya atau lapangkanlah rizki saya atau selamatkan saya dari musuh saya”. Maka ini adalah ucapan-ucapan mukaffirah, karena ia jelas dilalahnya terhadap penyeruan selain Allah dan karena dalil syar’i telah menunjukkan bahwa orang yang menyeru selain Allah adalah kafir.

Di antara perbuatan–perbuatan yang jelas dilalahnya terhadap kekafiran diantaranya adalah orang yang melempar mushhaf pada kotoran, maka ini tidak mengandung kemungkinan kecuali bahwa ia telah melecehkan mushhaf sedang telah tsabit dengan dalil syar’i qath’iy kekafiran yang memperolok-olok ayat-ayat Allah.

Adapun bila ia melemparkan mushhaf kedalam api, maka ini adalah perbuatan yang tidak tegas dilalah-nya terhadp kekafiran. Sebagaimana akan datang penjelasan dalam hal-hal yang dilalahnya muhtamal (memiliki kemungkinan)

Dan berseberangan dengan sharihuddilalah (yang tegas dilalahnya) adalah amalan yang dilalahnya muhtamal yaitu amalan (ucapan atau perbuatan) yang tidak menunjukan terhadap kekafiran dan yang lainnya. Ini dinamakan takfir bilmuhtamalat (takfir dengan hal-hal yang masih memiliki kemungkinan) dan termasuk darinya ucapan yang bukan merupakan kekafiran dengan sendirinya tetapi menghantarkan kepada kekafiran dan ini yang dinamakan takfir bil ma’al atau takfir bilazamil qaul.

Amalan yang muhtamal dilalah-nya ini mesti memperhatikan beberapa hal yang menentukan dilalahnya dan apakah dibawa terhadap kekafiran yang jelas ataukah digugurkan. Dalam hal ini berkatalah Al Qodliy Syihabuddien Al Qarafiy: “Setiap yang memiliki dhahir, maka maknanya terpaling langsung kepada dhahirnya kecuali saat adanya hal yang merintanginya atau yang mengalahkan dhahir itu. Sedangkan suatu tak bisa diunggulkan kecuali dengan murajjih (yang mengunggulkan) yang syar’i“ (Al Faruq Al Qarafiy 2/195 terbitan Darul Ma’rifah)

Sedangkan murajjih syar’i untuk menentukan apa yang dimaksud dari amalan yang muhtamal dilalahnya adalah melihat pada tiga hal atau sebagianya yaitu:

· Mencari kejelasan maksud si pelaku

· Memperhatikan qarinah-qarinah keadaan yang menyertai amalan itu

· Dan mengetahui ‘urf (adat kebiasaan)orang yang berbicara itu dan penduduk negerinya.

Adapun mencari kejelasan maksud si pelaku yaitu niatnya, maka adalah dengan menanyakan kepadanya tentang apa yang ia maksudkan dengan ucapan dan perbuatannya. Seperti orang yang berdo’a di pinggir suatu kuburan sedang tidak bisa didengar suaranya dan siapa yang diminta dan dengan apa ia berdo’a, maka ia mesti ditanya bila dia berkata: “Saya berdo’a kepada Allah agar mengampuni si mayit ini”, maka ia berbuat baik. Bila ia berkata: ”Saya berdoa kepada Allah di sisi kuburan ini dengan harapan diijabah“ maka amalannya ini adalah bid’ah ghair mukaffirah. Bila ia berkata: “Sesungguhnya saya menyeru penghuni kubur agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya”, maka amalannya ini adalah mukaffir. Jadi mencari kejelasan maksud di sini adalah menentukan apa yang dimaksud dari suatu yang muhtamal dilalahnya. Dalam hal ini berkatalah An Nawawiy dalam apa yang ia nukil dari Asy Syaimary dan Al Khatib: “Dan bila ditanya –yaitu si mufti– tentang orang yag mengatakan ini dan itu, berupa hal-hal yang memiliki kemungkinan banyak hal yang sebagaianya bukan kekafran, maka seyogyanya bagi si mufti untuk mengatakan: “Orang ini mesti ditanya tentang apa yang ia maksudkan dari apa yang ia katakan, bila ia memaksudkan begini maka jawabanya begini, dan bila memaksudkan begini maka jawabannya begini“ (Al Majmu’, An Nawawiy 1/49)

Dalam hal ini juga berkatalah Al Imam As Syafi’i rahimahullah: “Dan ucapan (yang dipegang) adalah ucapanya dalam suatu yang memiliki kemungkinan selain dhahir“ (Al-Umm, Asy Syafi’i 7/297)

Di sini ada peringatan penting yang akan datang penjelasannya dalam kekeliruan-kekeliruan takfir:

Yaitu bahwa maksud yang dituntut pencarian kejelasannya dan yang bepengaruh dalam hukum, adalah penentuan apa yang dimaksud dari perbuatan si pelaku bukan pencarian kejelasan maksud dia untuk kafir dengan hal itu, maka di dalam contoh yang lalu, bila ia berkata: “Sesungguhnya saya menyeru mayit agar menyelamatkan saya dari bencana”, maka maksud inilah yang dituntut pencarian kejelasannya dan inilah yang berpengaruh dalam hukum, dan tidak mesti menanyakan kepada dia: Apa kamu bermaksud kafir dengan hal itu…? bahkan andai kata ia berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud kufur dengan hal hal itu“ tentulah peniadaan (maksud kafir) ini tidak berpengaruh dalam hukum. Dan akan datang jabaran ini insya Allah.

Adapun memperhatikan qarinah-qarinah keadaan yang menyertai amalan itu, maka seperti orang yang mengucapkan ucapan yang memiliki kemungkinan kekafiran dan ia mengingkari maksud kekafiran dan ternyata setelah diteliti terbukti pertemuan dia dengan kaum zindiq atau ia tertuduh sebagai zindiq, maka ini adalah qarinah-qarinah keadaan yang menguatkan maksud kekafiran.

Contoh: seandainya seorang melemparkan mushhaf ke dalam api, maka ini ada kemungkinan bahwa ia itu melecehkan mushhaf, maka ia kafir seperti halnya orang yang melemparkannya ke dalam kotoran dan ada kemungkinan ia memusnahkan mushhaf yang lama yang ada padanya dengan dibakar sebagaimana Utsman radliallahu’anhu telah membakar mushhaf-mushhaf (selain mushhaf Utsmani), maka ini adalah sunnah khalifah rasyid, maka ia tidak kafir. Bila kita telah mencari kejelasan maksud dia dan ia berkata bahwa ia ingin memusnahkannya, kemudian dengan mencari kejelasan indikasi keadaannya terbukti bahwa mushhaf itu baru atau bahwa dia itu tertuduh zindiq, maka indikasi-indikasi ini membuktikan bahwa ia itu dusta dalam ucapannya bahwa ia ingin memusnahkan mushhaf itu ; akan tetapi ia itu justeru melecehkannya.

Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahulloh berkata: “Indikasi-indikasi keadaan membuat berbeda dengannya indikasi berbagai ucapan dalam penerimaan klaim apa yang menyelarasinya dan penolakan apa yang menyelisihinya dan terbangun di atasnya berbagai hukum dengan sekedarnya“ (Al Qowaid , Ibnu Rajab, kaidah 151 hal: 322)

Adapun melihat pada ‘urf maka sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim dalam Ahkamul Mufti: “Ia tidak boleh memberikan fatwa dalam kasus iqrar/pengakuan, sumpah, wasiat dan yang lannya yang berkaitan dengan lafazh dengan berdasarkan apa yang biasa ia pahami dari lafadh-lafadh itu tanpa mengetahui ‘urf pemilik bahasa itu dan orang-orang yang berkomunikasi dengannya sehinggga ia membawanya kepada makna yang mereka terbiasa dengannya dan mereka kenal meskipun bertentangan dengan hakikat asalnya, dan bila dia tidak melakukannya maka (dia) sesat lagi menyesatkan“ (I’lamul Muwaqqiin 4/228)

Inilah tiga murajjihat syar’iyyah yang dengannya kita tentukan apa yang dimaksud dari suatu yang muhtamal dilalahnya, namun lengkap dalilnya terhadap kekafiran: Al Qodhli I’yadl rahimahullah berkata: “Saya telah menyaksikan Syaikh kami Al Qodhli Abu Abdullah Muhammad Ibnu Isa dihari-hari tugasnya telah dihadirkan seorang laki-laki lain, terus laki-laki itu mendekati seekor anjing kemudian ia memukul dengan kakinya seraya berkata kepadaanya “Bangkitlah hai Muhammad, terus si laki-laki itu mengingkari bahwa ia telah mengatakan itu, dan sejumlah orang telah menjadi saksi terhadapnya, maka ia diperintahkan untuk dipenjara. Beliau meneliti keadaannya dan apakah ia bertemu dengan orang yang agamanya mencurigakan? Kemudian tatkala beliau tidak mendapatkan kecurigaan apa yang menguatkan akan ‘aqidahnya maka beliau mencambuknya dan melepasnya“ selesai.

Pensyarah berkata: “Sesungguhnya lawan orang itu namanya Muhammad“.

Al Qodli ‘Iyadl rahimahullah berkata juga: “Dan muncul juga suatu masalah yang mana sebagian qodli di Andalus meminta fatwa di dalamnya kepada guru kami Al Qodli Abu Muhammad Mansyur rahimahullah tentang orang yang dihina dengan sesuatu maka beliau berkata kepadaanya “Kamu ingin kami memutuskan berdasarkan ucapanmu, sedangkan saya adalah orang biasa dan semua manusia memiliki kekurangan termasuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam”, maka beliau menfatwakan agar dia dipenjara dalam waktu yang lama dan diberi pelajaran yang menyakitkan, karena ia tidak memaksudkan celaan (terhadap nabi) Sedangkan sebagian fuqaha Andalus menfatwakan hukuman mati“ (Asy Syifa, Al Qodli ‘Iyadl terbitan Isa Al Harabiy 2/984, 996)

Syaikhul Islam ditanya tentang orang yang menghina Syarif dari ahli bait dimana orang itu berkata: “Semoga Allah melaknat orang yang memuliakannya”, maka Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ucapan ini dengan sendirinya tidak tergolong hinaan (terhadap Nabi) yang mana dibunuh pelakunya, akan tetapi dia diminta keterangan mengenai ucapannya tentang “orang yang memuliakannya“, kemudian bila terbukti dengan keterangan dia atau dengan qarinah-qarinah yang bersiafat keadaan atau lafazh bahwa ia melaknat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajb dibunuh. Dan bila ucapannya itu tidak terbukti, maka hal itu tidak menyebabkan membunuhnya“ (Majmu’ Fatawa 35/197-198 Dan hal serupa 34/ 135-136)

Itulah tentang ucapan yang dilalahnya muhtamal

Di antara perbuatan-perbuatan yang muhtamal adalah orang yang shalat menghadap kiblat sedang di depannya ada api atau kuburan, ini ada kemungkinan ia shalat kepada kuburan, api atau kepada Allah, maka mesti mencari kejelasan maksud tentang qorinah-qorinah keadaan: Apakah ia terkenal baik atau adakah kecurigaan pada agamanya seperti Majusi dari kalangan penyembah api yang menampakkkan Islam secara taqiyyah, dan yang lainnya? Al Bukhori telah membuatkan bab untuk masalah ini dalam Kitabus Shalat dari Shahihnya pada bab “Orang yang shalat sedang di depannya ada api atau perapian atau sesuatu yang diibadahi namun ia memaksudkan Allah dengannya” (Fathul Baari 1/527)

Maka ini yang wajib diikuti untuk menentukan dilalah (penunjukkan) amalan yang muhtamal dan statusnya dalam hal itu adalah seperti sindiran dalam thalaq, tuduhan zina (qadzaf), pembebasan budak dan yang lainnya yang tidak bisa dibedakan, kecuali dengan mengetahui niat si pembicara dan melihat pada qorinah keadaan serta ‘urf si pembicara.

Adapun yang sharih (jelas) dalam hal ini semua, maka tidak butuh melihat pada niat dan tujuan, kecuali dari sisi kesengajaan sebagaimana yang akan kami jelaskan dalam kekeliruan takfir.

Sedangkan acuan dalam menentukan apa yang dimaksud dari sesuatu yang dilalahnya muhtamal ~dalam hukum-hukum dunia~ adalah kepada ijtihad qodli yang mengkaji berbgai pengaduan sebgaimana yang ada dalam contoh-contoh yang dinukil dari Al Qodli ‘Iyadl tadi, dan boleh bagi Al Qodli untuk memberi sanksi (ta’zir) si tersangka dengan sanksi yang berat bila tidak mungkin membawa amalan yang muhtamal itu kepada yang yang shorih bila tuduhan sangat kuat.

Di sini ada perselisihan tentang hukum zindiq yang sering muncul darinya amalan-amalah yang dilalahnya terhadap kekafiran muhtamal, dan ini adalah keadaan banyak dari kaum munafiqin sebagaimana firmanNya ta’ala:

”Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar–benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan“ (Muhammad: 30)

Dan diantara munafiq ada orang yang mengucapkan kekafiran yang jelas, namun tidak terbukti terhadapnya dengan keterbuktian yang syar’i karena tidak terpenuhinya bayyinah (bukti/kejelasan), seperti orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka:

“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan meng’adzab mereka dengan ‘adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (At Taubah: 74)

Adapun zindiq, yaitu orang yang berulang kali kemurtadannya dalam istitabah-nya atau orang yang sering muncul darinya hal-hal muhtamal dan sindiran, maka madzhab Malik rahimahullah tidak menerima taubatnya sedangkan madzhab Asy Syafi’i menerima selamanya. Dan acuan dalam hal ini juga adalah ijtihad Qodli, dan sangat berpengaruh padanya pertambahan keburukan dan pelecehan agama di tengah manusia. Bila hal ini ada, maka wajiib dihadang kerusakannya dan diunggulkan mengamalkan madzhab Malik. Lihat bahasan tentang zindiq (Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabir 10/78-80, Al Furu’ karya Ibnu Muflih Al Hanbaliy 6/170-171, Fathul Bari 12/269-273, Al Umm As Syafi’i 6/156-167, I’lamul Muwaqqi’in 3/112-115, dan 140-145)

Adapun dalam hukum-hukum akhirat, maka kapan didapatkan darinya amalan yang mengandung kemungkinan kekafiran, maka urusannya pada Allah sesuai niatnya. Allah lebih tahu terhadapnya dan membalasnya, meskipun tidak terbukti sedikitpun padanya pada hukum-hukum dunia. Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amalan itu hanya tergantung niatnya, dan bagi setiap orang itu hanyalah yang ia niatkan…“ (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dan firman Allah ta’ala:

“Pada hari dinampakkan segala rahasia maka sekali-sekali tidak ada bagi manusia itu sesuatu kekuatanpun dan tidak pula seorang penolong“. (At Thariq: 9-10)

Untuk tambahan penjelasan ini silahkan rujuk:

· Shahih Al Bukhori Kitab Istitabatil Murtaddin Bab “Bila orang Dzimmiy Atau Yang Lainnya Menghina Nabi dengan Sindiran dan Tidak Terangan-terangan” (Fathul Bari 12/280)

· Asy Syifa’ karya Al Qodli ‘Iyadl Pasal Ucapan-ucapan Yang Muhtamal Untuk Menghina Nabi 2/979-999 dan pasal Tahqiqul Qoul Fii Ikfaril Muta-awwilin dan pasal sesudahnya 2/1056-1086 terbitan Isa Al Halabiy

· Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah masalah Lazimul Madzhab Hal Huwa Madzhab juz 20/217-219 dan juz 5/306-307

· Ucapan Ibnul Qoyyim dalam masalah Lazimul Madzhab Hal Huwa Madzhab dalam Qashidah Nuniyyahnya dan Syarah Syaikh Muhammad Khalil Harras juz 2/252-258, Maktabah Ibnu Taimiyyah 1407 H

· Al Asybah Wan Nadhair fi Qowaid wa Furu’ Fiqh As Ayafiiyyah karya As Suyuthi bab Al Qoul Fish Sharih Wal Kinayah Wal Ta’ridl halaman 488 dst, terbitan Darul Kitab Al Arabiy 1407 H

· I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qoyyim 2/5 (Atsar Dilalatul Hal Fi Tahwilil Kinayah Ilash Sharih)

Kesimpulan:

Bahwa amal (yaitu ucapan dan perbuatan) menjadi mukaffir (mengkafirkan) ~yaitu menjadi sebab untuk memvonis kafir~ dengan dua syarat:

Syarat dalam dalil syar’i: yaitu si dalil jelas menunjukkan bahwa pelaku amalan ini adalah kafir dengan kufur akbar.

Syarat perbuatan mukallaf yaitu amal yang muncul dari orang tertentu, yaitu amal tersebut jelas penunjukkan terhadap kekafiran, artinya ia itu mengandung alasan yang mengkafirkan yang ada dalam dalil syar’i. Dan amal itu jelas dilalahnya baik semenjak awal mencari kejelasan atau setelah mencari kejelasan maksud pelakunya atau melihat qorinah qorinah keadaan dan ‘urf si pembicara bila amal itu muhtamal dilalahnya.

Dua syarat ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi saw: “…kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti (dalil) dari Allah di dalamnya“ (Muttafaqun ‘alaih)

Sabdanya: “Kekafiran yang nyata” yaitu jelas dilalahnya terhadap kekafiran, dan ini adalah syarat amal yang mengkafirkan (amal mukkafir) dan sabdanya “Kalian memiliki bukti atau dalil dari Allah didalamnya“ yaitu dalil syar’i yang jelas dan ini syarat dalil mukaffir. Asy Syaukani berkata: “Sabdanya “…kalian memiliki bukti (dalil) dari Allah didalamnya…“ Yaitu nash ayat atau kabar yang sharih yang tidak mengandung kemungkinan takwil dan konsekuensinya adalah tidak boleh memberontak mereka selagi perbuatan mereka mungkin ditakwil . (Nailul Author 7/361)

Inilah, dan mayoritas perselisihan ulama tentang suatu yang dengannya orang dikafirkan dan tidak dikafirkan adalah kembali pada syarat ke dua yang lalu, yaitu apakah amal itu jelas dilalahnya terhadap kekafiran ataukah mengandung ihtimal (kemungkinan) dan adapun amal yang jelas, maka mereka tidak berselisih di dalamnya sedangkan yang muhtamal, maka masuklah perselisihan di dalamnya karena itu adalah tempat ijtihad.

Dan termasuk hal ini adalah apa yang diutarakan Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafi’i dalam contoh-contoh riddah dengan ucapan, ia berkata: Maka (contohnya) seperti bila seseorang berkata tentang musuhnya: “Seandainya ia adalah tuhan saya, tentu saya tidak akan mengibadatinya”, maka sesungguhnya ia itu kafir. Dan andai juga ia berkata: “Seandainya ia adalah nabi, tentulah saya tidak akan beriman kepadanya”. Atau berkata tentang anaknya, atau istrinya: “Ia lebih saya cintai daripada Allah dan RasulNya”. Begitu juga andai orang sakit berkata setelah ia sembuh: “Saya mendapatkan dalam sakit saya ini sesuatu yang seandainya saya membunuh Abu Bakar dan Umar tentu saya tidak berhaq mendapatkannya”, maka sesungguhnya ia kafir.

Sebagian ulama berpendapat bahwa wajib membunuhnya karena ucapannya mengandung tuduhan bahwa Allah ta’ala aniaya. Dan masalah pemberian alasan ini masuk dalam gambarannya apa yang semakna dengannya karena adaanya kandungan penyandaran (aniaya), semoaga Allah ta’ala melindungi kita darinya.

Begitu juga andaikata ia mengklaim bahwa ia mendapatkan wahyu, walaupun ia tidak mengaku sebagai nabi, atau ia mengaku bahwa ia masuk surga dan makan dari buah-buahannya serta ia memeluk bidadari maka ia kafir dengan ijma’. Dan sama dengan ini dan hal-hal serupa dengannya adalah yang dikatakan kaum zindiq sufi, ~semoga Allah membinasakan mereka~, alangkah bodohnya mereka dan alangkah kafirnya mereka serta alangkah sesatnya orang-orang yang meyakini mereka, seandainya mencela salah seorang nabi atau melecehkannya, maka ia kafir berdasarkan ijma’ . Di antara gambaran-gambaran perolok-olokan adalah apa yang muncul dari orang-orang yang zhalim saat menyiksa orang, terus orang yang disiksa itu meminta tolong kepada penghulu manusia terdahulu dan kemudian shalallahu ‘alaihi wa sallam[1], maka si zhalim itu berkata: “Biarkan Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam menyelamatkanmu dan yang lainnya”

Seandainya seseorang mengatakan “Saya nabi“ dan orang lain berkata “Ia benar “, maka keduanya kafir dan seandainya ia berkata “Hai kafir“ tanpa takwil, maka ia kafir, karena ia telah menamakan Islam sebagai kekafiran dan ucapan ini sering muncul, maka hendaklah orang waspada terhadapnya.

Seandainya ia berkata, “Bila anak saya mati, maka saya akan masuk Yahudi atau Nashrani”, maka ia kafir saat itu pula. Dan seandainya orang kafir yang ingin masuk Islam meminta dia untuk mentalqinkan kalimat tauhid, kemudian ia malah mengisyaratkan kepadanya agar tetap (di atas agamanya), maka ia kafir, begitu juga bila ia tidak mentalqinkan kalimat tauhid maka ia kafir.

Dan andai kata ia mengisyaratkan kepada orang muslim untuk kafir, maka ia kafir begitu juga seandainya dikatakan kepadanya “Potonglah kukumu atau kumismu karena ia sunnah”, kemudian ia malah berkata: “Saya tidak akan melakukan meskipun ia sunnah”, maka ia kafir, hal ini dikatakan Ar Rafi’iy dari para sahabat Abu Hanifah dan ia mengikuti mereka. An Nawawiy berkata: “Pendapat yang terpilih adalah ia tidak kafir, kecuali ia memaksudkan perolok-olokan, Wallahu A’lam”. Bila dua orang berbantah-bantahan, terus salah satunya mengatakan: “Laa haula wala quwwata illaa billah”, maka yang satu mengatakan: ”Laa haula walaa quwwati tidak bermanfat dari lapar”, maka dia kafir. Dan seandainya ia mendengar adzan muadzin, terus ia berkata: “Sesungguhnya ia itu dusta”, maka ia telah kafir. Dan jika ia berkata: “Saya tidak takut kiamat“ maka ia kafir.

Seandainya ia tertimpa musibah terus berkata: ”Dia (Allah) telah mengambil harta saya, anak saya ini dan itu, dan apa yang Dia lakukan juga, serta tidak tersisa apa yang Dia lakukan” maka dia kafir. Dan seandainya ia memukul budak dan anaknya terus seseorang berkata kepadaanya: “Bukankah kamu muslim” dan dia menjawab “bukan “ secara sengaja maka dia kafir.

Seandainya seseorang berkata kepadanya: “Hai Yahudi dan Nashrani” kemudian ia menjawab “Ya, ada apa?”, maka ia kafir. Begitulah Ar Rafi’iy menukilnya dan ia mendiamkannya dan An Nawawiy berkata: “Dalam hal ini perlu ditinjau bila ia tidak meniatkan apapun, Wallohu A’lam. Seandainya pengajar anak-anak berkata: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi lebih baik daripada kaum muslimin karena mereka memenuhi kebutuhan para pengajar anak-anak mereka” maka ia kafir. Begtulah Ar Rafi’iy menukilnya dari para sahabat Abu Hanifah radliallahu’anhu dan ia mendiamkannya dan diikuti oleh An Nawawiy. Saya berkata: “Dan kata-kata ini sering terjadi muncul dari tukang kuli dan para mencari upah. Dan dalam takfir dengan sebab itu perlu ditinjau karena pengeluaran muslim dari agama nya dengan lafadz yang mengandung kemungkinan benar apalagi adanya qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bahwa perlakuan orang ini lebih baik dari perlakuan ini, apalagi bila ia menegaskan bahwa ia adalah maksudnya atau terjatuh dalam kata yang jelas seperti masalah yang dinukilkan wallahu ‘alam”. Selesai.

Ini adalah contoh riddah dengan ucapan dan seperti apa yang engkau lihat bahwa apa yang dimasuki banyak kemungkinan dari contoh-contoh itu pendapat-pendat ulama berselish di dalamnya takfir dengannya. Dan ini juga terjadi pada perbuatan-perbuatan yang dilalahnya muhtamal dan diantara apa yang dituturkan Abu Bakar Al Hishniy setelah ucapannya berlalu.

Beliau berkata: “Dan adapun kekafiran dengan perbuatan, maka seperti sujud kepada berhala, matahari dan bulan, melemparkan mushhaf, begitu juga sembelihan (tumbal/sesajen) untuk berhala, memperolok-olok salah satu nama dari nama-nama Allah Ta’ala atau terhadap perintah-Nya atau ancaman-Nya atau membaca Al Quran dengan tabuhan rebana, dan begitu juga andai ia meminum khamr dan melakukan zina dan ia menyebut nama Allah (bismillah) sebagai bentuk pelecehan maka sesungguhnya ia adalah kafir”.

Ar Rafi’iy telah menukil dari para sahabat (pengikut) Abu Hanifah bahwa andai ia mengenakan zanar (ikat pinggang khusus untuk orang kafir) di pinggangnya maka ia kafir. Ia berkata: “Mereka berselisih tentang orang yang mengenakan peci Majusi di atas kepalanya dan pendapat yang shahih adalah bahwa ia kafir”. Seandainya ia mengikatkan seutas tali dipinggangnya terus ia ditanya tentangnya kemudian dia berkata “ini zanar”, maka mayoritas mereka mengatakan bahwa ia kafir dan Ar Rafi’iy diam terhadap hal itu dan An Nawawiy berkata: ”Yang tepat adalah ia itu tidak kafir bila ia tidak memiliki niat. Apa yang dituturkan An Nawawiy dituturkan juga oleh Ar Rafi’iy di dalam Ausal Al Jinayat di bagian ke empat yang intinya sejalan dengan An Nawawiy dan bahwa mengenakan pakaian orang-orang kafir (seragam) dengan sekedar itu saja tidak merupakan kemurtadan”.

Ar Rafi’iy telah menukil dari para pengikut Abu Hanifah bahwa orang fasiq bila memberi minum khamr kepada anaknya terus karib kerabatnya menaburkan uang dirham, maka sesungguhnya mereka itu kafir dan Ar Rafi’iy mendiamkannya. An Nawawiy berkata: “Yang tepat adalah mereka tidak kafir“. Dan seandainya ia melakukan perbuatan yang kaum muslimin bahwa itu tidak muncul kecuali dari orang-orag kafir maka ia kafir walaupun terang-terangan mengaku Islam sedang ia melakukannya seperti sujud kepada salib, atau berjalan ke gereja bersama jemat gereja dengan seragam mereka seperti zanar dan yang lainnya“. Selesai. (Kifayatul Akhyar 2/123-124)

Bila engkau mengamati mukaffirat (hal-hal yang mangkafirkan) yang bersifat ucapan dan perbuatan sedang ia adalah sekedar contoh dari banyak contoh yang ada di dalam bab-bab riddah di dalam kitab-kitab fiqh, maka jelaslah di hadapanmu pelecehan banyak manusia terhadap urusan-urusan yang mana ia adalah termasuk pembatal-pembatal keIslaman. Dan ini tidak lain adalah dengan merebaknya kebodohan dan tipisnya agama. Anas Ibnu Malik berkata: “Sesungguhnya kalian melakukan amalan-amalan yang lebih lembut bagi kalian dari pada rambut, padahal kami menganggapnya pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam termasuk hal-hal yang membinasakan“ (HR. Bukhori)

Ini adalah yang berkaitan dengan penjelasan ucapan saya -dalam kaidah Takfir- dengan sebab ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir, dan bagaimana ucapan atau perbuatan itu memenuhi syarat-syarat sifatnya bahwa ia mukaffir?

Faidah

Seseorang tidak masuk dalam iman, kecuali dengan sejumlah amalan akan tetapi ia keluar darinya ~yaitu kafir~ dengan satu amalan saja. Dan yang dimaksud di sini adalah iman haqiqiy yang bermanfaat bagi pemiliknya di akhirat, bukan Iman hukmiy yang semakna dengan Islam hukmiy yang berlaku terhadapnya hukum-hukum dunia, karena iman hukmiy ini orang masuk ke dalamnya dengan dua kalimat syahadat.

Adapun iman haqiqiy maka seseorang hamba tidak masuk ke dalamnya sampai ia mendatangkan ashlul iman, sedangkan telah lalu penjelasan bahwa ashlul iman, sedangkan telah lalu penjelasan bahwa ashlul iman terdiri dari sejumlah amalan-amalan hati, lisan dan anggota badan. Dimana wajib atas hati untuk Ma’rifah (mengetahui), Tasdhiq (pembenaran) dan sebagian amalan-amalan hati seperti inqiyad (ketundukan), kecintaan, ridha, dan penyerahan diri (taslim) kepada Allah ta’ala. Sedang atas lisan wajib ikrar dua kalimah syahadat dan wajib atas anggota badan hal-hal yang orang dikafirkan dengan sebab meninggalkannya berupa amalan-amalan seperti shalat dan ke dalamnya banyak para ulama memasukkan rukun-rukun Islam yang lainnya.

Akan tetapi orang keluar dari iman yaitu ia kafir dengan sebab satu amalan saja –bukan dengan sejumlah amalan–. Bila dia mendatangkan ucapan dan perbuatan atau keyakinan mukaffir, maka ia kafir dengan sebab hal itu sebagaimana telah lalu penjelasannya. Dan tidak disyaratkan untuk kekafirannya lenyapnya seluruh cabang-cabang keimanan dhahir yang ada padanya ~meskipun ia lenyap secara hakikat~ dan ini menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihukumi kafir bisa saja memiliki amalan-amalan shalih secara dhahir, sedang itu tidak menghalangi untuk mengkafirkan mereka bila ada hal yang menuntut hal itu.

Faidah ini memiliki contoh-contoh bandingan dalam fiqh: shalat tidak sah dan tidak terpenuhi kecuali dengan kumpulan dari syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban seperti wudhu, menutupi aurat, menghadap kiblat, niat, berdiri, ruku’, sujud, dan yang lainnya, akan tetapi ia batal dengan satu amalan saja, barang siapa berhadats di tengah-tengah shalat maka batallah shalatnya.

Haji tidak sah kecuali dengan kumpulan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban, tetapi ia (dapat) rusak dengan satu amalan saja seperti jima’.

Bila seorang hamba melakukan amalan shalih seumur hidupnya lalu ia kafir dengan suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan dan dia mati di atasnya, maka lenyaplah seluruh amalan shalihnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Barang siapa diantara kamu murtad dari agamanya, terus dia mati dalam keadaan kafir, maka lenyaplah amalan-amalan mereka di dunia dan akhirat dan mereka itu para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (Al Baqarah: 217)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang beramal dalam waktu yang panjang dengan amalan ahli surga, kemudian diakhiri baginya amalannya dengan amalan ahli neraka dan sesugguhnya seseorang beramal dalam waktu yang panjang dengan amalan ahli neraka kemudian diakhiri baginya amalannya dengan amalan ahli surga.“ (HR Muslim dari Abu Hurairah Radliallahu’anhu, sedang asal hadits dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu Mas’ud Radliallahu’anhu.)

Faidah Lain

Perbedan antara takfir muthlaq (kufur nau’) dengan takfir mu’ayyan (kufur ‘ain)

Takfir muthlaq adalah penerapan vonis kafir terhadap sebab saja (yaitu mendatangkan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir) maka dikatakan: “Siapa yang mengatakan ini, maka ia kafir dan barangsiapa melakukan ini maka ia kafir”, yaitu mengetahui hukum secara muthlaq tanpa menerapkan hukum kafir itu terhadap orang tertentu meskipun ia telah mendatangkan sebab ini. Takfir muthlaq ini adalah apa yang telah kami bicarakan pada point-point yang lalu dalam kaidah takfir.

Adapun takfir mu’ayyan maka ia adalah memvonis kafir orang tertentu yang telah melakukan sebab (ucapan atau perbuatan mukaffir). Dan ini di samping apa yang telah lalu penjelasannya ~yaitu memastikan keterbuktian sifat kufur pada ucapan atau perbuatannya~ memastikan untuk memperhatikan keterbuktian sebab ini terhadap pelakunya dan kekosongannya dari penghalang-penghalang hukum.

Dengan ucapan yang lain bisa dikatakan bahwa perbedan antara kedua macam ini adalah:

· Bahwa takfir muthlaq adalah penentuan kejahatan suatu perbuatan dan di dalamnya hanya melihat satu hal saja. Yaitu sebab yang mengkafirkan saja dari sisi keterpenuhanannya akan syarat-syarat ia untuk bisa dikatakan mukaffir dari sisi dalil syar’i dan dari sisi kepastian indikasi perbuatan itu sendiri.

· Adapun takfir mu’ayyan maka ia adalah penentuan kejahatan si pelaku dan ini di dalamnya melihat pada dua hal: penentuan kejahatan suatu perbuatan sebagaimana yang telah lalu dan memamandang pada keadaan pelakunya dari sisi keterbuktian perbuatan terhadapnya dan ketidakadaan penghalang-penghalang hukum padanya.

Dan memandang pada keterbuktian dan penghalang-penghalang takfir adalah materi berikut ini:

4. Ucapan saya ~pada kaidah takfir~: “Yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’i“

Yaitu ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan yang mana ia adalah sebab kekafiran. Dan penjelasan itu adalah bahwa hal itu termasuk dalam cakupan kaidah “pemberlakuan hukum-hukum dunia berdasarkan atas dhahir“, yaitu bahwa si mukallaf tidak dikenakan sanksi dengan sebab sesuatu dari ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatannya dalam hukum-hukum dunia, kecuali bila terbukti hal itu terhadapnya dengan cara-cara yang telah dijelaskan syari’ah (yaitu,ed.) dengan cara-cara pembuktian syar’i yang di antaranya adalah iqrar (pengakuan) dan kesaksian para saksi dan jumlah saksi itu berbeda-beda tergantung masalahnya. Bila ucapan atau perbuatan itu tidak terbukti terhadap si mukallaf dengan keterbuktian syar’i yang shahih, maka ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan itu secara hukum dianggap tidak ada, walaupun pada hakikat sebenarnya ada. Barangsiapa berzina tetapi zinanya tidak terbukti dengan cara pembuktian yang benar, maka ia dianggap tidak berzina pada hukum syar’i akan tetapi ia itu berzina pada hakikat sebenarnya dan Allah akan memberikan hukuman kepadaanya atas perbuatannya, kecuali bila ia diampuni dengan taubat orang itu atau dengan perbandingan (kebaikan dan keburukan) atau dengan syafa’at.

Adapun riddah –yaitu mendatangkan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir– maka itu bisa terbukti dengan salah satu dari dua hal: dengan iqrar (pengakuan) yaitu pengakuan (si pelaku) atau dengan kesaksian dua laki-laki muslim yang adil. Ini adalah bentuk madzhab jumhur ulama, tidak ada yang menyelisihi di dalamnya kecuali Al Hasan dimana ia mensyaratkan empat saksi untuk membuktikan riddah, karena hukumannya adalah bunuh, diqiyaskan dengan zina dan Ibnu Qudamah membantahnya bahwa alasan pada saksi perzinaan adalah zina bukan hukum bunuh yang dibangun di atasnya, karena jumlah nishab (4) saksi itu sendiri disyaratkan dalam membuktikan zina ghair muhshan sedangkan tidak ada hukum bunuh di dalamnya maka jelaslah perbedaannya. (Lihat Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir 10/99)

Dalam penunaian kesaksian riddah ini mesti ada rincian sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qodliy Burhanuddin Ibnu Farhun Al Maliki: “Dan tidak diterima kesaksian terhadap riddah yang global (mujmal), maka ucapan para saksi: “Si fulan telah kafir atau murtad“ mesti ada rincian apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat darinya karena perselisian manusia dalam hal takfir. Bisa jadi mereka meyakini kekafiran suatu yang bukan kekafiran.” (Tabshiratul Hukkam 2/277).

Apakah riddah terbukti dengan istifadlah yaitu kesaksian sejumlah orang tanpa mendengar atau melihat secara langsung dari si tertuduh? Di dalamnya ada perselisihan, Ibnul Qoyyim berkata: “Vonis hukum dengan istifadlah adalah tingkatan mutawatir dengan ahad. Istifadlah adalah keterkenalan yang menjadi bahan pembicaraan manusia dan menyebar diantara mereka. –sampai beliau berkata– sedang dia (istifadlah) itu lebih kuat dari kesaksian dua orang yang diterima“ (Ath Thuruq Al Hukmiyah, Ibnul Qoyyim hal 212 terbitan Al Madaaniy) dan juga bisa dirujuk di Fathul Bariy 5/254 dan Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 35/412-414

Di antara contoh kesaksian atas riddah dengan istifadlah adalah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam tarikhnya pada tragidi-tragedi tahun 741 H, beliau berkata: “Kemudian tatkala hari Selasa tanggal 21 Dzulqo’dah dihadirkan Utsman Ad Dakakiy itu ke Dar As Sa’adah dan ia dihadapkan di depan para umara’ dan para qodli dan ia ditanya tentang cacat-cacat pada saksi-saksi, maka ia tidak mampu dan tidak kuasa mendatangkan hal itu, maka vonispun diarahkan kepadaanya. Kemudian Al Qodliy Al Malikiy ditanya tentang vonis terhadapnya, maka beliau memuji dan menyanjung Allah serta bershalawat terhadap RasulNya, kemudian beliau memvonis agar ia dibunuh meskipun ia telah taubat. Maka orang itu dibawa dan dipenggal lehernya di Damaskus di Pasar Kuda dan diumumkan tentangnya. Inilah balasan orang yang manganut paham Ittihadiyah dan hari itu adalah hari yang disaksikan (banyak orang) di Dar As Sa’adah yang dihadiri banyak tokoh dari kalangan pemerintah dan para syaikh dan hadir juga guru kami Jamaluddin Al Miziy Al Hafizh, Al Hafizh Syamsuddin Adz Dzahabiy dan keduanya berbicara dan sangat memberi semangat dalam hal ini dan keduanya bersaksi akan kezindikan orang itu dengan istifadlah. Dan begitu juaga Syaikh Zainuddin saudara Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan keluarlah tiga Qodliy Al Maliky, Al Hanafiy dan Al Hanbaliy serta mereka melaksanakan vonisnya di majelis terus mereka menghadiri pemancungan orang itu, sedang saya menyaksikan secara langsung dari awal sampai akhir“ (Al Bidayah Wan Nihayah 14/190)

Ini adalah cara pembuktian riddah dalam hukum-hukum dunia dan kadang seseorang tertentu (mu’ayyan) kafir secara hakikat sebenarnya namun kekafiran itu tidak terbukti atasnya dalam hukum-hukum dunia, maka ini perhitungannya kepada Allah (pada hari dinampakkan semua rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia suatu kekuatan pun dan tidak pula seorang penolong) kemudian bila ia mati di atas kekafirannya tanpa taubat, maka ia masuk neraka secara pasti lagi kekal selamanya di dalamnya karena Allah tidak mengampuni (dosa) penyekutuan terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang kafir secara hukum sebenarnya dapat dibuktikan kekafirannya dalam hukum-hukum peradilan duniawi. Hal ini dijelaskan dalam empat gambaran berikut ini:

A. Bila seseorang merahasiakan keyakinan mukaffir yang tidak dia tampakkan dalam perbuatan dan ucapan yaitu kekafiran dengan keyakinan saja seperti mendustakan hari berbangkit, maka ia muslim secara zhahir, namun ia kafir pada hakikat sebenarnya. Ia tergolong munafiqin dengan nifaq akbar. Dan tentang macam ini Ibnu Taimiyyah berkata: “Andaikata mereka menyembunyikan nifaq dan tidak mengatakannya maka mereka adalah munafiqin Allah Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersimpan dalam hati mereka, katakan terhadap mereka: Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya) Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu” (At Taubah: 64) (dari Majmu Al Fatawa 13/57)

Ayat ini menunjukan bahwa nifaq itu ada di hati mereka dan sama sekali belum keluar dari ucapan dan perbuatan zhahir.

B. Bila seseorang menampakkan perbuatan atau ucapan mukaffir akan tetapi tidak seseorangpun melihatnya, maka ia muslim dalam hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Dan ini tergolong kaum munafiqin dengan nifaq akbar. Dan ini dan sebelumnya masuk dalam firman Allah Subhanahu Wa ta’ala:

“Dan diantara orang-orang Arab Badui yang disekililingmu itu ada orang-orang munafiq dan (juga) diantara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang berat” (At Taubah: 101)

C. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan diketahui oleh sebagian manusia, akan tetapi tidak bersaksi terhadapnya dari mereka kecuali seorang laki-laki saja atau anak kecil atau seorang wanita, maka perbuatan mukaffir ini tidak terbukti terhadapnya, karena tidak terpenuhinya nishab kesaksian atas riddah pada diri orang itu, sehingga ia itu muslim pada hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Namun demikian boleh bagi si qodli untuk memberi sanksi si tertuduh (menghukumnya dengan hukuman di bawah had seperti dipenjara atau didera atau yang lainnya) tergantung kekuatan kesaksian , umpamanya bila saksi itu termasuk ulama yang adil lagi shalih, namun hanya sendirian. (lihat Tabshiratul Hukkam, Ibnu Farhun 2/281)

Dan gambaran yang ke tiga ini adalah mayoritas kaum munafiq pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dimana sesungguhnya mereka itu mengucapkan kekafiran di antara mereka namun satu sama lain tidak menjadi saksi atas yang lainnya dengan hal itu, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah: “Terus dia bersikap nifaq dalam hatinya dan tidak kuasa menampakkan riddah itu, namun ia mengucapkan kemunafikan bersama orang-orang khususnya.“ (Majmu Al Fatawa 13/54)

Kadang mereka didengar oleh seorang laki-laki muslim terus ia bersaksi dengan apa yang ia dengar, akan tetapi ini tidak cukup untuk pembuktian. Sebagaimana Zaid Ibnu Arqam bersaksi atas Abdullah Ibnu Ubay bahwa dialah yang mengatakan: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya“, sebagaimana itu telah tsabit dalam Ash Shahih. Padahal sesungguhnya wahyu telah membenarkan Zaid namun Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menghukumi mereka berdasarkan wahyu akan tetapi dengan cara-cara pembuktian syar’i dan dikarenakan banyak dari ucapan kaum munafiqin itu muhtamal dilalahnya dan tidak sharih (jelas) sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kamu akan benar-benar mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkatan mereka“ (Muhammad: 30) sedang kiasan-kiasan perkatan itu adalah apa yang diketahui dengan maknanya dan ia tidak tegas terhadapnya, ini dituturkan Al Qurthubiy. Dan dengan ini para ulama menjawab tentang kenapa nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin? Maka Ibnu Taimiyyah menjawab: ”Bahwa mayoritas mereka tidak mengucapkan kekafiran yang bisa dibuktikan atas mereka dengan bukti, akan tetapi mereka itu menampakkan keIslaman, sedang kemunafikan mereka bisa diketahui kadang dari ucapan yang didengar oleh seorang laki-laki mukmin terus ia menyampaikannya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka malah bersumpah dengan Allah bahwa mereka tidak mengatakan atau mereka tidak bersumpah, dan kadaang diketahui dari apa yang nampak dari sikap absen mereka dari shalat (berjama’ah) dan jihad, serta mereka keberatan dengan zakat dan menampakkan ketidaksukaan dari mereka terhadap hukum-hukum Allah, sedangkan mayoritas mereka bisa diketahui dari kiasan-kiasan perkatan –sampai beliau berkata— kemudian orang munafiq itu selalu menampakkan Islam dan bersumpah bahwa mereka muslimin, dan mereka telah menjadikan sumpah mereka itu sabagai perisai. Dan bila ini adalah keadaan mereka, maka Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menerapkan hudud berdasarkan pengetahuannya, tidak pula dengan berita (dari) seseorang, tidak juga dengan sekedar wahyu serta tidak pula dengan dalil-dalil dan syawahid sampai yang mengharuskan had itu terbukti dengan bayyinah (saksi-saksi) atau pengakuan –sampai beliau berkata– jadi beliau tidak membunuh mereka itu ~padahal mereka kafir~ adalah karena tidak nampaknya kekafiran dari mereka dengan hujjah syar’iyah. Dan ini dibuktikan dengan realita bahwa beliau tidak pernah meng-istitabah mereka secara ta’yin, padahal sudah maklum bahwa keadaan terbaik bagi orang-orang yang telah terbukti kemunafikan dan kezindikannya adalah mereka di-istitabah (disuruh taubat)seperti halnya orang yang murtad, kemudian bila ia taubat (maka diterima) dan bila tidak, maka ia dibunuh sedangkan tidak sampai kepada kita bahwa beliau meng-istitabah seorang mu’ayyan dari mereka, diketahuilah bahwa kekafiran dan riddah itu tidak terbukti terhadap seorang secara ta’yin dengan keterbuktian yang mengharuskan dibunuh seperti orang murtad, oleh sebab itu diterima hal dhahir mereka dan kita serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah. Bila ini adalah keadaan orang yang nampak nifaq mereka dengan tanpa bukti syar’i maka bagaimana keadaan orang yang tidak nampak nifaqnya?” (Ash Sharimul Maslul: 355-357)

Al Qodli ‘Iyadl rahimahullah berkata: ”Dan hal-hal batin kaum munafiqin itu tersembunyi sedang putusannya shalallahu ‘alaihi wasallam adalah berdasarkan zhahir dan mayoritas ucapan-ucapan itu hanyalah diucapkan orang diantara mereka secara sembunyi-sembunyi bersama kawan-kawannya dan mereka itu bersumpah terhadapnya bila dilaporkan ucapannya itu dan mereka mengingkarinya serta bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan, padahal mereka sudah mengucapkan perkatan kekafiran -sampai ucapanya– dan dengan inilah para imam kita rahimahullah menjawab pertanyaan ini”. Dan berkata: “Mungkin tidak terbukti di sisi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ucapan-ucapan mereka apa yang telah dilaporkan dan hanya dinukil dari seorang dan tidak sampai pada tingkat kesaksian dalam hal ini, berupa anak kecil atau budak atau wanita, sedangkan darah itu tidak ditumpahkan kecuali dengan kesaksian 2 saksi laki-laki adil -sampai beliau berkata– dan begitu juga berkata para sahabat kami (semadzhab) di Baghdad: “Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin berdasarkan pengetahuan beliau tentang mereka dan tidak datang (satu nash pun yang menunjukkan) bahwa telah ada bukti terhadap kemunafiqan mereka, maka oleh sebab itu beliau membiarkan mereka”. (As Syifa’, Al Qadli ‘Iyadl 2/961-963, terbitan Al Halabiy)

Dan dengan ini juga Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab tentang sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam “Biarkan (dia,) agar orang-orang tidak berbicara bahwa Muhammad membunuh sahabatnya”, tatkala Ibnul Khaththab radliallahu’anhu hendak membunuh Abdullah Ibnu Ubay dengan sebab apa yang dipersaksikan oleh Ibnu Zaid Ibnu Arqam (HR Bukhari no. 4905), maka Ibnu Tamiyyah berkata: ”Dan yang menyebabkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membunuhnya adalah apa yang beliau sebutkan yaitu pembicaran manusia bahwa beliau membunuh para sahabatnya, kerena kemunafiqannya tidak terbukti terhadapnya dengan bayyinah (bukti syar’i) dan dia juga telah bersumpah bahwa ia tidak mengucapkannya, namun hanya diketahui dengan wahyu dan berita Zaid Ibnu Arqam” (Ash Sharim Al Maslul 354)

Al Qodli ‘Iyadl berkata: “Andaikata Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membunuh mereka kerena kemunafiqan mereka dan apa yang nampak dari mereka serta karena pengetahuan beliau tentang apa yang mereka sembunyikan di dalam mereka tentulah para pencari kesempatan mendapatkan bahan pembicaraan dan tentulah menjadi ragu orang yang bimbang dan tentu pembangkang menebarkan isu dan tentu banyak yang merasa takut dari menyertai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dari masuk Islam serta tentu pengklaim mengklaim dan musuh yang zholim menduga pembunuh itu hanya kerena permusuhan -sampai beliau berkata– dan ini berbeda dengan pemberlakuan hukum-hukum zhahir terhadap mereka seperti had zina, pembunuhan dan yang serupa karena hal itu nampak dan manusia sama dalam hal mengetahuinya“ (As Syifa’ 2/964, cet. Al Halabiy)

D. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan ia mengakuinya atas dirinya atau bersaksi terhadapnya dua laki-laki yang adil atau lebih atau masalahnya terkenal di tengah manusia, maka amalan mukaffir ini telah terbukti terhadapnya dengan keterbuktian yang syar’i lagi shahih, akan tetapi ini tidak cukup untuk memvonis dia kafir sampai meninjau pada penghalang-penghalang hukum.

Ini adalah empat keadaan bagi orang yang kafir secara hakikat sebenarnya, namun tidak terbukti amalan mukaffir itu terhadapnya dalam hukum-hukum dunia, kecuali pada satu keadaan saja darinya.

Ini adalah yang berkaitan dengan keterbuktian syar’i dan di sini ada faidah yaitu:

Apakah bagi orang yang mengetahui kekafiran dari seseorang, boleh menganggapnya kafir –sebagaimana dalam gambaran (C) yang lalu– meskipun tidak bisa menetapkan kekafiran terhadapnya dengan cara penetapan syar’i?

Jawabanya: Ya, bahkan wajib bagi dia untuk memvonis orang itu kafir akan tetapi dengan dua syarat:

Pertama: Orang tersebut memiliki kelayakan untuk memvonis dengan dirinya sendiri atau dengan meminta fatwa orang lain agar bisa membedakan kekafiran dan dengan yang bukan kekafiran dan agar melihat penghalan-penghalang hukum.

Ke dua: Dia tidak memberi sanksi dengan sanksi-sanksi yang mana ia adalah hak Allah Ta’aalaa seperti penghalalan darah dan hartanya agar tidak dikenakan hukum dengan sebab ini karena tidak adanya keterbuktian yang syar’i lagi sempurna. Dan andaikata hal ini boleh, tentu akan menimbulkan kekacauan dalam penghalalan darah dan harta dengan sekedar tuduhan. Akan tetapi dia menghukumi dengan hukuman-hukuman di bawah itu, seperti menghajr-nya (menjauhinya), tidak menikahinya, tidak menikahkannya, tidak menshalatkannya bila ia mati dan yang lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telam menuturkan hal ini dalam Majmu Al Fatawa 24/285-287. Dan Ibnu Taimiyyah berkata –tentang munafiqin–: “Awalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan mereka dan memintakan ampunan bagi mereka sampai Allah melarang beliau dalam hal itu, Dia berfirman:

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (At Taubah: 84)

Dan firmanNya Ta’ala:

“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq”. (At Taubah: 80).

Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian tidak menshalatkan mereka dan tidak pula memintakan ampun bagi mereka akan tetapi darah dan harta mereka terjaga (ma’shum), tidak menghalalkan dari mereka apa yang yang beliau halalkan dari orang-orang kafir yang tidak menampakkan bahwa mereka itu mu’minun akan tetapi menampakkan kekafiran bukan keimanan“ (Majmu’ Al Fatawa 7/212-213)

Sedangkan dalil vonis kafir seorang individu terhadap orang lain bila ia mengetahui kakafiran darinya adalah firmanNya Ta’ala:

“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu kami buatkan ladang.

Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,

Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”

Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,

Dan Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya Aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”.

Kawannya (yang mukmin) berkata kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (Al Kahfi 32-37)

Orang yang pertama kafir dengan sebab ragu terhadap hari kebangkitan (dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang), sedangkan orang yang satunya lagi mengkafirkan dengan sebab itu padahal mereka hanya berdua sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan. Dan contoh hal ini dikalangan salaf adalah banyak dan di antaranya adalah pengkafiran As Syafi’i terhadap Hafsh Al Fard di majelis diskusi (debat), silakan lihat Asy Syari’ah karya Al Ajiriy: 81 dan Syarah I’tiqad Ahlis Sunnah karya Abul Qosim Al Lalikaiy 1/252-253. Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa Asy Syafi’i tidaklah mengkafirkan Hafsh ini, namun hanya memuthlaqan kekafiran terhadap ucapannya akan tetapi yang terbukti benar dari berita mereka berdua adalah berbeda dengan apa yang dikatakan Syaikhul Islam. Silahkan lihat ucapannya di Majmu’Al Fatawa 23/349

Orang yang mengkafirkan orang lain ini tidak boleh memaksa orang-orang muslim lainnya dengan vonis dia itu selagi tidak terbukti di sisi mereka apa yang telah terbukti di sisinya dan selagi tidak terbukti kekafiran orang kafir ini dengan keterbuktian syar’i yang shahih.

Akan tetapi orang yang mengkafirkan orang lain ini boleh bagi muslim lainnya untuk mengikuti dia bila dia itu orang yang paham lagi tsiqoh (terpercaya). Dan contohnya adalah taqlid Umar Ibnul Khaththab kepada Hudzhaifah Ibnul Yaman dalam hal tidak menshalatkan orang yang mana Hudzhaifah telah mengetahui kemunafiqan mereka dengan pemberitahuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 7/213 dan Al Umm karya Asy Syafii 6/166)

Dan apakah boleh bagi orang yang mengetahui kekafiran dari seseorang (lalu,ed) dia menyebarkannya di tengah manusia bila orang kafir itu menyembunyikan kekafirannya?

Jawbannya: Ya, bahkan wajib karena dikhawatirkan bahayanya, terutama bila orang kafir ini penyeru bid’ah atau tergolong orang yang diambil ilmunya atau ia ingin menikahi muslimah dan yang lainnya karena agama itu adalah nasehat. Dan dalam hal ini berkatalah Al Qodli ‘Iyadl rahimahullah: ”Bila orang yang melontarkan hal itu tergolong orang yang tampil untuk diambil darinya ilmu atau periwayatan hadits atau untuk diputuskan dengan vonisnya atau kesaksiannya atau fatwanya dalam berbagai hal, maka wajib atas orang yang mendengarnya untuk menyebarkan apa yang ia dengar darinya dan menghati-hatikan manusia darinya serta bersaksi terhadapnya tentang apa yang ia ucapkan dan wajib pula bagi orang yang mendapatkan berita itu dari kalangan imam kaum muslimin untuk mengingkarinya, menjelaskan kekafirannya dan kerusakan ucapannya demi memutus bahaya dari kaum muslimin serta sebagai bentuk penunaian akan hak penghulu para rasul. Dan begitu juga bila orang itu tergolong orang yang suka memberikan ceramah kepada masyarakat atau mendidik anak-anak. Karena orang yang ini adalah sifatnya, besar kemungkinan ia menyampaikan hal itu ke dalam hati mereka, maka kewajiban makin sangat kuat dalam hal mereka itu, karena hak nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan hak syariatnya“ (As Syifa’ 2/997-998)

Ini adalah apa yang berkaitan dengan keterbuktian syar’i yaitu: pembuktian terjadinya kekafiran dari pelaku dengan pembuktian yang shahih.

5. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Bila syarat-syarat hukum terpenuhi”

Maka meninjau syarat-syarat itu harus dilakukan sebelum menghukumi, karena sesungguhnya kaidah hukum dalam syari’at secara hukum adalah putusan/hukum itu terbangun di atas sebab telah terpenuhi syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya tidak ada.

Putusan/hukum/vonis adalah menetapkan sesuatu bagi yang lain atau menafikannya darinya, sedang disini ia adalah menetapkan vonis hukum kafir/murtad bagi orang tertentu.

Sedangkan sebab hukum adalah sesuatu yang mana Sang Pembuat Syari’at menjadikan keberadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap keberadaan hukum dan ketidakadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap ketidakadaannya hukum. Dan di sini adalah pendatangan orang ini akan ucapan atau perbuatan mukaffir.

Sedangkan syarat hukum adalah suatu yang mana keberadaan hukum adalah tergantung pada keberadaanya (syarat hukum) dan tidak mesti dari keberadaannya (syarat hukum) keberadaan hukum, namun mesti ketidakadaannya (syarat hukum) ketidakadaan hukum.

Syarat-syarat vonis untuk takfir ini terbagi menjadi tiga bagian:

a. Syarat dalam pelaku: yaitu dia mukallaf (yaitu baligh dan berakal), mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir[2], sengaja dan bermaksud melakukannya, serta mukhtar (tidak dipaksa) terhadapnya atau dengan kemauannnya.

b. Syarat-syarat dalam perbuatan (yang mana ia adalah sebab hukum) yaitu perbuatannya itu mukaffir tanpa ada kesamaran. Dan telah lalu penjelasan apa yang disyaratkan untuk itu: yaitu perbuatan mukallaf itu jelas indikasinya dan dalil syar’i yang mengkafirkan juga jelas indikasinya.

c. Syarat-syarat dalam pembuktian perbuatan mukallaf: yaitu hal itu terbukti dengan cara syar’i yang shahih.

6. Dan ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Dan penghalang-penghalangnya tidak ada pada dirinya” yaitu penghalang-penghalang hukum.

Penghalang (maani’): Adalah sesuatu yang mesti dari keberadaannya (penghalang) tidak adanya hukum dan tidak mesti dari ketidakadaannya (penghalang) ada atau tidak adaanya hukum.

Ketahuilah, bahwa boleh mencukupkan dalam kaidah takfir dengan menuturkan syarat-syarat saja atau penghalang-penghalang saja, karena sesungguhnya keduanya adalah saling berlawanan sehingga penuturan salah satunya mencakup dari yang lain sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim: “Dan di antara yang menjelaskan masalahnya di hadapanmu adalah kesepakatan manusia bahwa syarat itu terbagi pada wujudiy (yang bersifat ada) dan ‘adamiy (yang bersifat tidak ada) dengan makna bahwa keberadaan ini adalah syarat dalam suatu hukum dan tidak adaanya ini adalah syarat di dalamnya. Dan ini disepakati diantara fuqaha, ahli ushul, ahli kalam dan kelompok lainnya. Suatu ketidakadaannya adalah syarat maka keberadaannya adalah penghalang, sebagaimana sesuatu yang keberadaannya adalah syarat, maka ketidakadaannya adalah penghalang, jadi ketidakadaan suatu syarat adalah satu penghalang dari penghalang-penghalang hukum dan tidak adanya penghalang adalah syarat dari syarat-syaratnya, wabillahi taufiq.” (Badaaiul Fawaid 4/12 terbitan Darul Kitab Al ‘Arabiy)

Penghalang-penghalang (mawani’) –sebagaimana syarat-syarat– terbagi menjadi tiga macam:

1. Penghalang-penghalang pada pelaku: yaitu apa yang merintangi dia sehingga menjadikannya tidak dikenakan sanksi dengan sebab ucapan-ucapannya dan perbuatannya secara syar’i. Dan mawani’ ini dinamakan ‘Awaaridl Al Ahliyyah (faktor-faktor yang merintangi kelayakan) dan kami akan menuturkannya setelah ini Insya Allah.

2. Penghalang-penghalang pada perbuatan (yaitu pada sebab kekafiran) seperti keberadaan perbuatan itu tidak pantas kepada kekafiran atau dalil syar’i-nya tidak qath’iy dilalahnya terhadap kekafiran.

3. Penghalang-penghalang pada pembuktian; seperti keadaan salah seorang saksinya tidak diterima kesaksiannya, baik itu anak kecil atau tidak adil umpamanya.

[1] Tentu ini adalah syirik akbar (pent.)

[2] Ucapan Syaikh tentang syarat takfir bahwa si pelaku harus mengetahui bahwa perbuatan mukaffir, telah dikomentari oleh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy dalam An Nukat:

“Syarat ini perlu ditinjau karena sesungguhnya orang-orang yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim Ath Tha-iy radliallahu’anhu tidaklah mengetahui –sebagaimana yang ditegaskan ‘Adiy sendiri– bahwa mentati para ulama dan para pendeta dalam perbuatan hukum itu adalah ibadah akan tetapi ketidaktahuan mereka bahwa ketatan itu ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah tidaklah menghalangi dari pencapan mereka sebagai musyrikin dan bahwa mereka itu telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah. Dan Allah telah memilah mereka dalam surat Al Fatihah sebagai orang-orang yang dimurkai yang telah kafir atas dasar ilmu, dengan sifat bahwa mereka itu orang-orang yang sesat yang telah kafir atas dasar taklid, kebodohan dan kesesatan.

Dan di antara yang menunjukkan juga secara jelas bahwa orang bisa menjadi kafir tanpa disadari yaitu ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya adalah kekafiran adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari“. (Al Hujurat: 2)

Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa meninggikan dan mengeraskan suara ini bisa menyebabkan terhapusnya amalan sedang si pelakunya tidak menyadari dan tidak mengetahui, sedangkan terhapusnya amalan ini hanya terjadi dengan kekafiran, sebagaimana firmanNya Ta’ala: ”Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang terapus amalannya” (Al Baqarah: 217)

Dan firman Ta’ala: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya“ (Al Maidah: 5)

Dan firman Ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan“ (Al An’am: 88)

Serta ayat yang lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Sesungguhnya meninggikan suara di atas suara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeraskan suara kepadanya adalah dikhawatirkan darinya si pelaku menjadi kafir tanpa ia sadari dan amalnya terhapus dengan sebab itu dan bahwa ia adalah penghantar kepada hal itu dan sebab di dalamnya “ Selesai. (Ash Sharim Al Maslul hal; 55)

Maka tidak harus atau selalu disyaratkan bahwa orang bisa menjadi kafir, (bila) dia itu mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir sebagaimana yang dituturkan mushannif (penulis Al Jami’, yaitu Syaikh Abd.Qadir,ed.) namun para ulama hanya mensyaratkan hal itu dalam takfier orang yang memiliki ashlul Islam (tauhid) dan ia keliru dalam sebagian permasalahan yang samar atau yang pelik yang butuh terhadapnya penjelasan dan tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena kalau tidak demikian sesungguhnya Allah Ta’ala telah menuturkan dalam kitabNya tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu kafir sedang mereka mengira bahwa mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk dan mereka berkata: ”Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. “

Dan Allah Ta’ala menuturkan bahwa mayoritas mereka adalah tidak mengetahui dan bahwa mereka itu orang-orang bodoh.

Dan Allah Ta’ala berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, yaitu orang-orang yang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya“ (Al Kahfi: 104)

Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuturkan tentang orang-orang yang memperolok-olok para penghafal Al Quran di perang Tabuk bahwa Dia telah mengkafirkan mereka tatkala mereka lontarkan ucapan-ucapan kafir itu, padahal mereka secara tegas menyatakan tidak bermaksud kafir dan murtad dengan hal itu dan mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa ucapannya iu adalah kekafiran. Bahkan ia adalah seperti apa yang mereka katakan dalam sebab turun ayat: ”Obrolan para pengendara, dengannya kami memotong jarak perjalanan “.

Dan dalil-dali atas hal ini sangat banyak dan ia menunjukkan bahwa orang untuk dikafirkan tidaklah selalu disyaratkan ia mengetahui bahwa apa yang ia kerjakan adalah kekafiran kecuali dengan dimaksudkan dengan mengetahui ini ia bermaksud pada amal atau ucapan yang mengkafirkan dan sengaja kepadanya saat ia melakukan atau mengucapkannya, maka ini syarat dengan kesepakatan, namun ia bukan yang dimaksud mushannif disini.

Dan lihatlah apa yang dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Pada thabaqah ke 17 dari tingkatan-tingkatan kaum mukallafin dan thabaqat mereka dan ia sebagaimana yang beliau katakan: ”Thabaqah orang-orang yang taqlid dan orang-orang kafir yang bodoh dan para pengikut-pengikut mereka serta keledai-keledai mereka yang menjadi pengikut mereka sembari mengatakan: “Sesungguhnya kami mendapatkan para pendahulu kami di atas suatu ajaran dan sesungguhnya kami mencontoh mereka –sampai ucapannya– dan umat telah sepakat bahwa thabaqah ini adalah kafir walaupun mereka itu bodoh… sampai akhir ucapannya“